Akhir-akhir ini, gagasan
tentang pembentukan Adonara Kabupaten menjadi Daerah Otonomi Baru terpisah dari
Kabupaten induknya Flores Timur, kembali diwacanakan oleh sekelompok orang yang
menamakan dirinya Panitia Persiapan Adonara Kabupaten (PPAK). Bila ditelusuri
lebih jauh, gagasan pembentukan Adonara Kabupaten ini pernah ramai dibicarakan
menjelang Pilkada Gubernur NTT tahun 2008 lalu, kemudian berlanjut pada Pemilu
Legislatif 2009 dan kembali ramai lagi menjelang Pilkada Bupati Flores Timur
tahun ini. Maka patut diduga bahwa gagasan seperti ini memang lebih kental
muatan politisnya ketimbang pemenuhan substansi pokok pemekaran untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Adonara.
Seandainya gagasan
pembentukan Adonara Kabupaten ini lahir dari kehendak hati yang tulus tanpa
pamri apapun untuk mewujudkan kesejahteraan hidup seluruh masyarakat Adonara,
maka seharusnya gagasan seperti ini perlu diberi ruang secara luas kepada
seluruh elemen masyarakat Adonara dimanapun mereka berada untuk diperdebatkan
dan tidak boleh hanya dimonopoli oleh segelintir orang atau kelompok yang
mengatasnamakan seluruh masyarakat Adonara. Bahwa ada pro dan kontra di tengah
masyarakat, itu hal bisa dalam alam demokrasi yang sedang kita bangun saat ini,
yang terpenting adalah bahwa semua elemen masyarakat Adonara harus dilibatkan
dalam proses ini, sehingga mereka bisa menentukan arah pembangunan daerah
mereka sendiri secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Kalau kita konsisten pada
tujuan penerapan otonomi daerah dengan indikator keberhasilnnya antara lain
diukur dari apakah suatu daerah mampu memberikan pelayanan secara baik dan
meningkatkan kesejahteraan secara kontinyu; apakah penerapan otonomi daerah
tersebut mampu menciptakan kehidupan rakyat dengan lebih demoktratis dan
berkeadilan; mampu menciptakan pemerataan baik secara ekonomi dan berbagai
kesempatan hidup kepada masyarakat dan mampu menciptakan hubungan yang serasi
dengan pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah lain (Dede Mariana &
Caroline Paskarina:2008), maka isu strategis yang perlu dikaji dan
dirumuskan secara serius oleh para stakeholders yang ada di Adonara
adalah bukan pada soal jadi atau tidak Adonara menjadi Kabupaten, melainkan
lebih pada soal bagaimana desain penataan wilayah dan strategi pengembangan
ekonomi daerah di Kabupaten Flores Timur yang berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan daerah di Adonara sesuai dengan semangat UU No.32 tahun 2004.
Namun demikian, dari wacana yang dimunculkan kelompok PPAK selama ini, terlihat
sekali bahwa sepertinya kata “pemekaran” adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar dan menjadi satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan
dan mendekatkan hasil-hasil pembangunan pada masyarakat di wilayah Adonara, di
tengah gencarnya upaya pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan
desentralisasi dan otonomi daerah secara luas saat ini. Pada hal dalam UU No.32
tahun 2004 yang berkaitan dengan penataan wilayah, pemekaran hanya merupakan
salah opsi dari pembentukan daerah otonomi baru selain penggabungan dan re-grouping
sub-sub wilayah dalam daerah yang bersangkutan, misalnya re-grouping
kecamatan dan atau desa dalam wilayah kabupaten.
Agar kita tidak terjebak
dalam memaknai semangat desentralisasi dan otonomi daerah, seolah-olah otonomi
daerah sama dengan pemekaran, dalam sebuah acara talkshow tentang Otonomi
Daerah di Metro TV menjelang Pemilu Legislatif 2009 lalu, pakar otonomi daerah
Prof.Dr.Riyas Rasyid pernah mengatakan bahwa sebetulnya konsep tentang otonomi
daerah adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang disebut
pemekaran wilayah. Otonomi daerah lebih dimaksudkan pada upaya penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan
rumah tangga daerahnya sendiri secara otonom, karena selama ini corak
pembangunan kita cenderung sentralistik. Sedangkan pemekaran lebih berkaitan
dengan upaya penataan wilayah negara kesatuan RI, berdasarkan pertimbangan geopolitik,
ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, yang berkepentingan
langsung dengan pemekaran suatu wilayah adalah pemerintah pusat dan bukan dari
kehendak masyarakat daerah yang diakomodir pemerintah pusat. Pemerintah
pusat-lah yang sangat berkepentingan langsung dengan isu pemekaran suatu
wilayah, karena di dalamnya menyangkut kebijakan strategis negara dalam usaha
melindungi dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dari berbagai ancaman
kekuatan politik, ekonomi, hukum, budaya, pertahanan dan keamanan, seperti yang
dilakukan pemerintah pusat ketika memutuskan pemekaran Provinsi Irian Jaya
waktu itu.
Jadi, maraknya pemekaran
wilayah belakangan ini ditangerai terjadi karena elit politik di pusat sengaja
membuka ruang untuk mengakomodir kader-kader partai mereka di daerah yang gagal
masuk dalam struktur kekuasaan, untuk masuk dalam struktur kekuasaan di daerah
otonomi baru tersebut. Pemekaran juga ditangerai sering menjadi kendaraan bagi
partai politik untuk memperluas basis dukungan mereka di daerah. Sehingga tidak
mengherankan kalau kenapa proses pemekaran itu kadang harus melalui lobi-lobi
politik di DPR, dan bahkan pemekaran pun diperbolehkan meski disertai dengan
kekerasan dan demo-demo yang mengatasnamakan aspirasi daerah, sebagaimana yang
terjadi dalam kasus suap alih fungsi hutan Tanjung Api-Api yang menyeret
beberapa anggota DPR. Begitu juga dengan demo pemekaran wilayah di Sumut
beberapa waktu lalu hingga menelan korban jiwa Ketua DPRD-nya sendiri.
Selain itu, menurut Arif
Roesman Effendy, maraknya daerah otonomi baru yang terbentuk sampai saat ini,
juga karena proses pemekaran yang terjadi di tingkat pemerintah pusat relatif
mudah dan terkesan terjadi kompromi, misalnya dalam soal penetapan kriteria
kelayakan pemekaran yang mudah dipenuhi bahkan dimanipulasi; studi kelayakan
yang dilakukan oleh pihak ketiga yang cenderung mendukung dan memaksa
terjadinya pemekaran wilayah; adanya formulir isian kelengkapan data calon
daerah otonomi baru yang membuka peluang bagi para pihak yang terlibat untuk
melakukan manipulasi data dan informasi yang dibutuhkan bagi pemekaran wilayah.
Begitu juga pada proses politiknya, dimana argumen-argumen politik di DPR
seringkali memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan eksekutif
dalam hal penolakan proposal pemekaran daerah.
Karena adanya persepsi
yang keliru dalam memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan opsi
pemekaran sepertinya telah menjadi tren baru dalam struktur kewilayaan di
Indonesia saat ini. Akibatnya, pertumbuhan daerah otonomi baru menjadi tak
terkendali dan menyisahkan sejumlah persoalan besar yang belum tertangani
secara tuntas hingga saat ini. Sebagai gambaran, sejak tahun 1999 sampai tahun
2007 tak kurang dari 171 daerah otonomi baru hasil pemekaran, yang meliputi 7
Provinsi, 135 Kabupaten dan 32 Kota baru hasil pemekaran, belum termasuk
ratusan proposal pemekaran wilayah yang sekarang sedang antri untuk dibahas di
lembaga politik DPR.
Barangkali, hasil evaluasi
pemerintah pusat terhadap daerah otonomi baru yang dilakukan baru-baru ini,
yang menunjukkan bahwa sekitar 80 persen daerah otonomi baru berkinerja buruk
dan tidak mampu menghimpun pendapatan asli daerah, patut menjadi perhatian kita
semua terutama bagi pihak-pihak yang ingin memperjuangkan pemekaran Adonara Kabupaten.
Begitu juga dengan apa yang disiyalir Presiden SBY sendiri yang menilai
kebanyakan daerah otonomi baru tersebut telah gagal di dalam mewujudkan
kesejahteraan hidup masyarakat, dimana daerah-daerah itu hanya sibuk membentuk
pemerintahan dan berbelanja peralatan, tetapi pada saat bersamaan mereka
mengabaikan peningkatan pelayanan masyarakat, juga harus menjadi perhatian kita
semua, disamping masalah-masalah besar lainnya yang muncul setelah pemekaran
wilayah, sebagaimana yang digambarkan dari hasil Studi Evaluasi Dampak
Pemekaran Daerah tahun 2001-2007 yang dilakukan Bappenas dan UNDP Juli 2008,
yang memperlihatkan adanya masalah besar misalnya dalam hal pembagian potensi
ekonomi yang tidak merata, dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi,
ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran berhubungan dengan
besarnya alokasi belanja modal di daerah pemekaran; optimalisasi pendapatan dan
kontribusi ekonomi yang rendah; dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah
daerah yang rendah; tidak efektifnya penggunaan dana; tidak tersedianya tenaga
layanan publik; dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik;
ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia; kualitas
aparatur yang umumnya rendah; dan aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment.
Oleh karena itu, agar kita
tidak mengulangi kegagalan yang sama sebagaimana yang telah dialami beberapa
daerah di Indonesia di dalam melakukan pemekaran wilayahnya, maka jalan yang
paling rasional adalah semua pihak terutama Pemda Flores Timur, DPRD, sektor
swasta, organisasi masyarakat sipil dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya
yang ada di Flores Timur dan khususnya di Adonara, harus duduk bersama untuk
mulai merumuskan secara serius desain penataan wilayah Flores Timur dan membuat
rencana stategis pengembangan ekonomi daerah untuk untuk 25-30 tahun ke depan.
Apapun pilihan bentuk penataan wilayah nanti paling tidak harus mampu
mewujudkan distribusi pertumbuhan ekonomi secara serasi dan merata antar
daerah; mampu mewujudkan distribusi kewenangan sesuai dengan kesiapan
pemerintah dan masyarakat lokal; mampu menciptakan ruang politikyang sehat dan
kondusif bagi bertumbuh dan berkembangnya partisipasi organisasi masyarakat
sipil dan institusi-institusi politik lokal; dan juga harus mampu mewujudkan
distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Demikian pula
halnya dengan strategi pengembangan ekonomi daerah. Apakah perekonomian daerah
Flores Timur dalam 25-30 tahun ke depan lebih mengandalkan hasil-hasil sumber
daya alam ataukah menjadikan industri pertanian dan kelautan sebagai basis
pengembangan ekonomi daerah. Apakah pengelolaannya nanti diserahkan sepenuhnya
kepada perusahaan-perusahaan multinasional sesuai dengan mekanisme pasar
ataukah dengan memberdayakan usaha-usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Dengan demikian, keputusan untuk memekarkan atau tidak Adonara Kabupaten harus
didasarkan pada outcomes yang ingin dicapai, dan bukan pada salera
politik jangka pendek kelompok-kelompok tertentu. Karena, kalau hanya sekedar
efektivitas pelayanan publik yang menjadi dasar tuntutan pemekaran Adonara
Kabupaten, maka efektivitas pelayanan publik tersebut masih bisa dicapai
misalnya dengan membentuk sub-sub dinas yang menyebar di beberapa kecamatan dan
atau desa, tanpa harus melakukan pemekaran wilayah. Dan tentu, masih banyak
lagi strategi yang harus dikaji secara serius dan kreatif untuk mendorong
tercapainya tujuan desentralisasi dan otonomi daerah ketimbang mereduksi
otonomi daerah hanya sekedar pemekaran wilayah, yang belum tentu membawa
kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang.
Oleh: Fidelis Lein
Tidak ada komentar:
Posting Komentar