Pendahuluan
Dari sekian
agenda reformasi, pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda yang
tersulit. seperti yang diketahui oleh khalayak luas, reformasi telah merevisi
amandemen, mendepolitisasi tentara, dan mendesentralisasi kekuasaan melalui
otonomi daerah. Semua agenda itu telah berjalan sesuai dengan relnya. Namun,
hanya pemberantasan korupsilah yang seakan berjalan mundur. Parahnya lagi
korupsi tidak dilakukan secara individual. Namun, dilakukan secara bersama-sama
oleh pejabat public.
Terasa menyakitkan
memang melihat orang-orang yang menduduki jabatan public justru melakukan
kejahatan nista bernama korupsi. Muncul pertanyaan dari penulis, benarkah kita
telah melakukan demokrasi yang kebablasan sehingga menafikkan nilai-nilai etika
dalam praksis politik? Lebih lanjut, benarkah tembok besar bernama penegakan
hukum menjadi hal yang utopis dalam konteks pemberantasan korupsi?
Etika itu
sendiri merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang
baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam kehidupan.
Lebih sederhananya, etika selalu berkaitan dengan mana yang baik dan mana yang
buruk, penghargaan dan pembenaran atas tujuan yang kita perjuangkan, cita-cita
yang kita dambakan dan hukum yang kita anggap baik dan perlu ditaati. Sebagai
makhluk tuhan yang dibekali kelebihan berupa daya cipta rasa, dan karsa. Maka,
hakikat dari manusia pada dasarnya adalah makhluk rasional. Bila Descartes
penah berujar, “ aku berpikir, maka aku ada”, seperti itulah hakikat nilai yang
dimiliki manusia.
jika demikian
adanya, apakah sekumpulan orang terpandang yang melakukan laku koruptif tidak
melanggar hakikat mendasar sebagai makhluk yang berakal? Ya, semakin heran bila
menyaksikan produk hukum yang ada tidak mampu menjerat pelaku korupsi. Masalah
utama yang dihadapi bangsa ini memang bukan pada kekosongan aturan hukum.
Namun, lebih pada tataran praktis untuk mengimplementasikan aturan yang ada.
SEJARAH
KORUPSI
Sebelum
menelaah lebih jauh kompleksitas tindakan korupsi di Indonesia. Ada baiknya
jika kita memahami lebih dulu berbagai tipologi korupsi. Dari segi tipologi,
korupsi dalam tujuh jenis varian yang berbeda, yakni korupsi transaktif (transactive
corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi
investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepostic
corruption), korupsi defe nsive (defensive corruption), korupsi
otogenik (otogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive
corruption)[2]. Empat tipologi pertama lah yang sering melibatkan
institusi pemerintahan dan swasta di negeri ini.
Korupsi
transaktif merujuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan
pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan
tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Jenis korupsi memeras adalah
jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal
yang dihargainya.
Korupsi
investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan
keuntungan tertentu. Sedangkan korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak
sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk
uang atau bentuk lain, yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang
berlaku.
Kini muncul
sebuah pertanyaan. Sejak kapan kah sebenarnya korupsi mulai muncul? Menjawab
pertanyaan tersebut, jawaban yang logis adalah ketika manusia mulai mengenal
kehidupan bermasyarakat, yakni tatkala organisasi masyarakat yang rumit mulai
muncul[3]. Sejarah menunjukkan hampir setiap peradaban kuno
dunia mengalami masalah ini.
Mesir,
Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno merupakan deretan
peradaban kuno yang tersentuh praktek korupsi. Hammurabi dari Babilonia, yang
naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum masehi, memerintahkan salah seorang
gubernur untuk menyelidiki satu perkara penyuapan. Disebutkan pula bahwa hukum
Hammurabi mengancam beberapa bentuk korupsi oleh pejabat pemerintahan dengan
hukuman mati[4]. Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200
SM) menjatuhkan pidana tegas kepada hakim yang terbukti menerima suap[5]
Fakta empiris
tersebut menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah besar nan akut yang
menghinggapi setiap organisasi kemasyarakatan. Dalam konteks kekinian merambah
pada ranah pemerintahan. Perang terhadap korupsi pun kini tidak hanya menjadi
agenda nasional. Lebih dari itu, telah menjadi agenda internasional. Hal ini
berkorelasi linear kaitannya dengan implementasi demokrasi di seluruh penjuru
dunia.
SEBAB dan
AKIBAT DARI KORUPSI
DARI konteks
historis kita tahu korupsi sudah terjadi semenjak Kekaisaran Romawi, ketika
terjadi kasus penyuapan hakim saat itu. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani,
India, China, Yunanai dan Romawi Kuno, korupsi terjadi dalam bentuk dan
aktifitas kepemerintahan.
Misalnya,
Hammurabi (Babilonia) yang memerintah tahun 1200 SM pernah memerintahkan
aparaturnya untuk menyelidiki masalah penyuapan. Shamash (Raja Assiria) sekitar
tahun 200 SM menghukum hakim yang menerima uang suap. Berbagai cerita lainnya
juga menunjukkan bahwa sejarah korupsi sudah setua sejarah manusia
Pemilu 2004
dengan dua fasenya, pemilu legislatif dan Pilpres yang digembor-gemborkan
sebagai pemilu terhebat sepanjang sejarah Indonesia ternyata menyisakan
kepedihan dan sinisme. Betapa tidak, Terkaan masyarakat bahwa ada banyak dana
siluman ternyata tidak terlalu keliru. Mulyana W. Kusumah yang di awal
kariernya selalu memperjuangkan dan mendengung-dengungkan pemberantasan korupsi
akhirnya ditangkap aparat KPK karena diduga melakukan tindakan penyuapan
auditor BPK. Hingga kini semuanya serba tidak jelas. Dan begitulah korupsi.
Semua serba tak jelas dan pada saatnya nanti akan menguap begitu saja
Usaha
pemberantasan korupsi di Indonesia tercoreng dengan noda hitam. Betapa tidak,
korupsi terjadi di lembaga yang memiliki nilai kehormatan yang sangat tinggi.
Kendati pun para pejabat KPU tidak mengakui adanya keterlibatan secara
kelembagaan, dan memang seharusnya demikian, tetapi peristiwa seperti ini bak
setitik racun dalam susu sebelanga. Saking malunya, bahkan ada sebuah media
cetak yang menjuluki Indonesia sebagai republik drakula, karena birokrasi dan
elite-elitenya yang superkorup
Kesan tidak
hanya datang dari kalangan internal masyarakat dan pengusaha Indonesia sendiri,
tetapi juga dari kalangan investor dan masyarakat internasional. Birokrasi
Indonesia sangat dikenal paling korup sehingga sampai sekarang pun risiko
investasi sangat tinggi dan modal asing enggan masuk ke dalam perekonomian
Indonesia. Keadaan internal birokrasi merupakan sesuatu yang sudah mathum
dengan kenyataan praktik suap-menyuap yang meluas dan sudah dianggap norma dan
aturan main yang wajar.
Kita ingat istilah suap sangat populer di kalangan masyarakat pada tahun 1980-an sebagai refleksi luasnya praktik sogok-menyogok tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka apa pun alasannya, pemerintahan model dulu dan sekarang sangat wajar tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat. Sistem, lebih-lebih moralitas pejabat sendiri sungguh sangat bobrok. Inilah yang disebut sebagai kehancuran etika berpolitik penguasa
Kita ingat istilah suap sangat populer di kalangan masyarakat pada tahun 1980-an sebagai refleksi luasnya praktik sogok-menyogok tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka apa pun alasannya, pemerintahan model dulu dan sekarang sangat wajar tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat. Sistem, lebih-lebih moralitas pejabat sendiri sungguh sangat bobrok. Inilah yang disebut sebagai kehancuran etika berpolitik penguasa
Korupsi
memang benar-benar sudah mendarah daging, Soal suap-menyuap apalagi. Kegiaatan
ini sama sekali sulit dideteksi karena berlangsung secara sukarela. Tapi tanpa
disadari hal ini akan membuat moralitas kita sebagai bangsa semakin ambruk.
Praktik korupsi di birokrasi sudah demikian melembaga dan mendarah daging
(institusionalized and internalized). Jelasnya, korupsi di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari soal-soal politik. Korupsi yang dipolitisasi sedemikian rupa
atu intrik politik yang dijalankan dengan cara korupsi menjadi trend di
Indonesia
Kalau bang
Mul saja ditangkap, mengapa yang lain tidak? Inilah persoalan kita. Dan
janganlah kasus seperti ini dipolitisasi oleh elite-elite untuk kepentingan
yang justru jauh dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi
seolah-olah telah menjadi kultur alami dalam masyarakat. Ia telah tersebar luas
di kalangan masyarakat bawah sampai atas. Korupsi di bawah sangat mungkin
terinspirasi dan termotivasi dari korupsi di tingkat atas. Masyarakat bersih
karena dalam dirinya sendiri tersimpan watak korup. Korupsi bisa dikatakan
telah mengakar dalam sistem pemerintahan secara umum.
Tampaknya
gerakan anti korupsi belum mampu menjadi gerakan bersama dan korupsi juga belum
dilihat sebagai musuh bersama yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Telah
berulang kali diusahakan untuk mengatasi korupsi, namun yang dilakukan hanya
setengah hati. Bercermin dari tindakan-tindakan elite pemerintah, tampaknya
tidak ada usaha yang sistematis untuk mangatasi korupsi. Bahkan sebutan ?budaya
korupsi? secara berulang-ulang pun belum mampu membuat mereka bergeming. Gerakan
antikorupsi hanya dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh sampai ke
ujung-ujungnya.
Terkadang
ironis karena pengusutan kasus korupsi lebih tergantung karena pesanan politik
daripada sungguh-sungguh untuk membasminya. Pembasmian korupsi bukanlah
retorika dan jargon politik melainkan tindakan politik. Selain ini itu yang
terjadi. Banyak kebijakan antikorupsi dengan ribuan pasal yang telah
dirumuskan, tapi koupsi terjadi seperti meledek/menghina kebijakan tersebut.
Dengan tangan-tangan politik yang kotor penuh noda korupsi, mereka melahirkan
retorika dan jargon politik untuk pemberantasan korupsi.
Sulitnya pemberantasan
korupsi di negara berkembang termasuk Indonesia adalah karena perilaku ini
sudah sedemikian masifnya dan menjadi sarana untuk pencapaian tujuan tertentu.
Korupsi terjadi di bawah jaringan sistem sosial yang sangat rumit. Ia terjadi
tidak dalam skala yang sederhana, meskipun masyarakat memandangnya secara
simplifikatif (menyederhanakan).
Korupsi itu sendiri berjalan sendiri. Dia ada karena sistem pemerintahan yang tidak transparan. Sistem pemerintahan yang tertutup tidak memungkinkan kebebasan atas akses informasi yang kredibel dan memadai. Selama kebijakan kekuasaan tidak memberikan kemudahan untuk mengakses informasi, mengenai dana anggran itu dipakai untuk siapa dan dikeluarkan untuk apa, agaknya pemberantasan korupsi hanya sekedar wacana dan tidak ada tindak lanjut.
Korupsi itu sendiri berjalan sendiri. Dia ada karena sistem pemerintahan yang tidak transparan. Sistem pemerintahan yang tertutup tidak memungkinkan kebebasan atas akses informasi yang kredibel dan memadai. Selama kebijakan kekuasaan tidak memberikan kemudahan untuk mengakses informasi, mengenai dana anggran itu dipakai untuk siapa dan dikeluarkan untuk apa, agaknya pemberantasan korupsi hanya sekedar wacana dan tidak ada tindak lanjut.
Pemberantasan
korupsi hanya akan menjadi ilusi. Karena itu yang dibutuhkan saat ini adalah
tindakan yang tepat, akurat dan tegas serta mensosialisasikan bahwa selain
terorisme, korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusian. Melalui
pembuktian hukum yang adil dan ketegasan visi politik yang bermoral, korupsi
harus dijadikan sebagai agenda utama dan pertama untuk melahirkan sistem
pemerintahan yang bersih (clean government).
Dengan visi
yang semacam itu, maka siapa yang melakukan korupsi berarti dia melanggar
harkat dan martabat kemanusiaan. Pelanggarnya mendapatkan hukum yang berat
karena dia melanggar harkat dan martabat kehidupan. Penyelewengan dana yang
seharusnya diperuntukkan untuk kehidupan masyarakat malah digunakan untuk
kepentingan pribadi, sekecil dan seremeh apa pun, harus diusut secara tuntas
melalui mekanisme hukum yang adil. Sebab cara seperti itu membuat orang lain
mengalami penderitaan dalam kehidupannya.
Akibat-akibat korupsi
Berbagai akibat dari korupsi akan timbul kemudian, seperti :
Berbagai
bentuk ketidakadilan pada saat-saat yang menyedihkan. Seperti banyaknya kematian
akibat paceklik karena bantuan untuk mereka dicuri para koruptor, dan pemalsuan
obat-obatan pada saat darurat. Maka kerugian akibat korupsi lebih besar dari
keuntungannya.
Akan
mengabaikan tuntutan pemerintah yang layak. Sebab perhatiannya hanya tertuju
pada korupsi.
Ketidakefisienan
yang menyeluruh dalam birokrasi, karena mengabaikan alternatif lainnya yang
realistis dan rasional. Keuntungan dari penyuap adalah kerugian bagi
pemerintah.
Menciptakan
kelalaian yang disebut efek psikosentris yang memiliki dua kutub bertentangan,
yakni memperbesar semangat pada fokus tertentu, dan mematahkan semangat pada
sejawat yang tidak terlibat korupsi.
Menyuburkan
kejahatan lain, yakni adanya sindikat kejahatan yang dapat membengkokkan hukum.
Pengaruh
kolektif dan kumulatifnya adalah melemahnya semangat perangkat birokrasi,
memberikan pelayanan palsu dan kerjanya tidak tulus.
Memantapkan
kekuasaan dan kebebasan berbuat. Seperti membuang limbah industri secara ilegal
yang menghancurkan lingkungan hidup.
Status dan
penghargaan. Suatu ilustrasi, betapa parahnya korupsi dan kemerosotan rohaniah
adalah pemakaman Big Jim Colosimo, tokoh bandit Chicago, pelayatnya dari
berbagai unsur yang tidak selaras atas penghormatan bagi seorang bandit.
Suka
kemewahan. Peti jenazah Dion O’Banion yang ditembak mati tahun 1924 seharga
10.000 dolar, dan semua biaya pemakamannya 100.000 dolar
Pengkhianatan.
Yakni membantu musuh dalam perang. Seperti saat perang Vietnam, perlengkapan
militer dan obat-obatan jatuh ke tangan Vietkong melalui pasar gelap.
Kejahatan
yang terorganisasi yang menginginkan uang dan kekuasaan, yakni kesusilaan dan
hukum yang khusus dan rahasia, sehingga orang tidak sadar bahwa mereka
dipengaruhi.
Terkumpulnya
kekayaan dan kekuatan besar, sehingga orang tidak mampu membongkar dan mendapat
balasan yang sering menghancurkan.
Beban ekonomi
jatuh pada masyarakat. Suap dimasukkan biaya, maka harga-harga menjadi mahal,
di samping pajak dan pungutan lain yang sah. Negara kekurangan dana untuk
melaksanakan fungsinya secara layak.
Daftar
Pustaka:
- Denny J.A. 2006. Parliament Watch, Eksperimen Demokrasi : Dilema Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
- Elliott, Kimberley Ann. 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
- S.H. Alatas. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta : LP3ES.
- Solomon, Robert C.1987. Ethics : A Brief Introduction. Terj. Etika : Suatu Pengantar. Terj. Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar