Kamis, 17 Mei 2012

SEJARAH KORUPSI


Pendahuluan
Dari sekian agenda reformasi, pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda yang tersulit. seperti yang diketahui oleh khalayak luas, reformasi telah merevisi amandemen, mendepolitisasi tentara, dan mendesentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Semua agenda itu telah berjalan sesuai dengan relnya. Namun, hanya pemberantasan korupsilah yang seakan berjalan mundur. Parahnya lagi korupsi tidak dilakukan secara individual. Namun, dilakukan secara bersama-sama oleh pejabat public.
Terasa menyakitkan memang melihat orang-orang yang menduduki jabatan public justru melakukan kejahatan nista bernama korupsi. Muncul pertanyaan dari penulis, benarkah kita telah melakukan demokrasi yang kebablasan sehingga menafikkan nilai-nilai etika dalam praksis politik? Lebih lanjut, benarkah tembok besar bernama penegakan hukum menjadi hal yang utopis dalam konteks pemberantasan korupsi?
Etika itu sendiri merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam kehidupan. Lebih sederhananya, etika selalu berkaitan dengan mana yang baik dan mana yang buruk, penghargaan dan pembenaran atas tujuan yang kita perjuangkan, cita-cita yang kita dambakan dan hukum yang kita anggap baik dan perlu ditaati. Sebagai makhluk tuhan yang dibekali kelebihan berupa daya cipta rasa, dan karsa. Maka, hakikat dari manusia pada dasarnya adalah makhluk rasional. Bila Descartes penah berujar, “ aku berpikir, maka aku ada”, seperti itulah hakikat nilai yang dimiliki manusia.
jika demikian adanya, apakah sekumpulan orang terpandang yang melakukan laku koruptif tidak melanggar hakikat mendasar sebagai makhluk yang berakal? Ya, semakin heran bila menyaksikan produk hukum yang ada tidak mampu menjerat pelaku korupsi. Masalah utama yang dihadapi bangsa ini memang bukan pada kekosongan aturan hukum. Namun, lebih pada tataran praktis untuk mengimplementasikan aturan yang ada.

SEJARAH KORUPSI
Sebelum menelaah lebih jauh kompleksitas tindakan korupsi di Indonesia. Ada baiknya jika kita memahami lebih dulu berbagai tipologi korupsi. Dari segi tipologi, korupsi dalam tujuh jenis varian yang berbeda, yakni korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepostic corruption), korupsi defe nsive (defensive corruption), korupsi otogenik (otogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption)[2]. Empat tipologi pertama lah yang sering melibatkan institusi pemerintahan dan swasta di negeri ini.
Korupsi transaktif merujuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.
Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu. Sedangkan korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk lain, yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.
Kini muncul sebuah pertanyaan. Sejak kapan kah sebenarnya korupsi mulai muncul? Menjawab pertanyaan tersebut, jawaban yang logis adalah ketika manusia mulai mengenal kehidupan bermasyarakat, yakni tatkala organisasi masyarakat yang rumit mulai muncul[3]. Sejarah menunjukkan hampir setiap peradaban kuno dunia mengalami masalah ini.
Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno merupakan deretan peradaban kuno yang tersentuh praktek korupsi. Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum masehi, memerintahkan salah seorang gubernur untuk menyelidiki satu perkara penyuapan. Disebutkan pula bahwa hukum Hammurabi mengancam beberapa bentuk korupsi oleh pejabat pemerintahan dengan hukuman mati[4]. Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200 SM) menjatuhkan pidana tegas kepada hakim yang terbukti menerima suap[5]
Fakta empiris tersebut menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah besar nan akut yang menghinggapi setiap organisasi kemasyarakatan. Dalam konteks kekinian merambah pada ranah pemerintahan. Perang terhadap korupsi pun kini tidak hanya menjadi agenda nasional. Lebih dari itu, telah menjadi agenda internasional. Hal ini berkorelasi linear kaitannya dengan implementasi demokrasi di seluruh penjuru dunia.

SEBAB dan AKIBAT DARI KORUPSI
DARI konteks historis kita tahu korupsi sudah terjadi semenjak Kekaisaran Romawi, ketika terjadi kasus penyuapan hakim saat itu. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, China, Yunanai dan Romawi Kuno, korupsi terjadi dalam bentuk dan aktifitas kepemerintahan.
Misalnya, Hammurabi (Babilonia) yang memerintah tahun 1200 SM pernah memerintahkan aparaturnya untuk menyelidiki masalah penyuapan. Shamash (Raja Assiria) sekitar tahun 200 SM menghukum hakim yang menerima uang suap. Berbagai cerita lainnya juga menunjukkan bahwa sejarah korupsi sudah setua sejarah manusia
Pemilu 2004 dengan dua fasenya, pemilu legislatif dan Pilpres yang digembor-gemborkan sebagai pemilu terhebat sepanjang sejarah Indonesia ternyata menyisakan kepedihan dan sinisme. Betapa tidak, Terkaan masyarakat bahwa ada banyak dana siluman ternyata tidak terlalu keliru. Mulyana W. Kusumah yang di awal kariernya selalu memperjuangkan dan mendengung-dengungkan pemberantasan korupsi akhirnya ditangkap aparat KPK karena diduga melakukan tindakan penyuapan auditor BPK. Hingga kini semuanya serba tidak jelas. Dan begitulah korupsi. Semua serba tak jelas dan pada saatnya nanti akan menguap begitu saja
Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia tercoreng dengan noda hitam. Betapa tidak, korupsi terjadi di lembaga yang memiliki nilai kehormatan yang sangat tinggi. Kendati pun para pejabat KPU tidak mengakui adanya keterlibatan secara kelembagaan, dan memang seharusnya demikian, tetapi peristiwa seperti ini bak setitik racun dalam susu sebelanga. Saking malunya, bahkan ada sebuah media cetak yang menjuluki Indonesia sebagai republik drakula, karena birokrasi dan elite-elitenya yang superkorup
Kesan tidak hanya datang dari kalangan internal masyarakat dan pengusaha Indonesia sendiri, tetapi juga dari kalangan investor dan masyarakat internasional. Birokrasi Indonesia sangat dikenal paling korup sehingga sampai sekarang pun risiko investasi sangat tinggi dan modal asing enggan masuk ke dalam perekonomian Indonesia. Keadaan internal birokrasi merupakan sesuatu yang sudah mathum dengan kenyataan praktik suap-menyuap yang meluas dan sudah dianggap norma dan aturan main yang wajar.
Kita ingat istilah suap sangat populer di kalangan masyarakat pada tahun 1980-an sebagai refleksi luasnya praktik sogok-menyogok tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka apa pun alasannya, pemerintahan model dulu dan sekarang sangat wajar tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat. Sistem, lebih-lebih moralitas pejabat sendiri sungguh sangat bobrok. Inilah yang disebut sebagai kehancuran etika berpolitik penguasa
Korupsi memang benar-benar sudah mendarah daging, Soal suap-menyuap apalagi. Kegiaatan ini sama sekali sulit dideteksi karena berlangsung secara sukarela. Tapi tanpa disadari hal ini akan membuat moralitas kita sebagai bangsa semakin ambruk. Praktik korupsi di birokrasi sudah demikian melembaga dan mendarah daging (institusionalized and internalized). Jelasnya, korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari soal-soal politik. Korupsi yang dipolitisasi sedemikian rupa atu intrik politik yang dijalankan dengan cara korupsi menjadi trend di Indonesia
Kalau bang Mul saja ditangkap, mengapa yang lain tidak? Inilah persoalan kita. Dan janganlah kasus seperti ini dipolitisasi oleh elite-elite untuk kepentingan yang justru jauh dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi seolah-olah telah menjadi kultur alami dalam masyarakat. Ia telah tersebar luas di kalangan masyarakat bawah sampai atas. Korupsi di bawah sangat mungkin terinspirasi dan termotivasi dari korupsi di tingkat atas. Masyarakat bersih karena dalam dirinya sendiri tersimpan watak korup. Korupsi bisa dikatakan telah mengakar dalam sistem pemerintahan secara umum.
Tampaknya gerakan anti korupsi belum mampu menjadi gerakan bersama dan korupsi juga belum dilihat sebagai musuh bersama yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Telah berulang kali diusahakan untuk mengatasi korupsi, namun yang dilakukan hanya setengah hati. Bercermin dari tindakan-tindakan elite pemerintah, tampaknya tidak ada usaha yang sistematis untuk mangatasi korupsi. Bahkan sebutan ?budaya korupsi? secara berulang-ulang pun belum mampu membuat mereka bergeming. Gerakan antikorupsi hanya dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh sampai ke ujung-ujungnya.
Terkadang ironis karena pengusutan kasus korupsi lebih tergantung karena pesanan politik daripada sungguh-sungguh untuk membasminya. Pembasmian korupsi bukanlah retorika dan jargon politik melainkan tindakan politik. Selain ini itu yang terjadi. Banyak kebijakan antikorupsi dengan ribuan pasal yang telah dirumuskan, tapi koupsi terjadi seperti meledek/menghina kebijakan tersebut. Dengan tangan-tangan politik yang kotor penuh noda korupsi, mereka melahirkan retorika dan jargon politik untuk pemberantasan korupsi.
Sulitnya pemberantasan korupsi di negara berkembang termasuk Indonesia adalah karena perilaku ini sudah sedemikian masifnya dan menjadi sarana untuk pencapaian tujuan tertentu. Korupsi terjadi di bawah jaringan sistem sosial yang sangat rumit. Ia terjadi tidak dalam skala yang sederhana, meskipun masyarakat memandangnya secara simplifikatif (menyederhanakan).
Korupsi itu sendiri berjalan sendiri. Dia ada karena sistem pemerintahan yang tidak transparan. Sistem pemerintahan yang tertutup tidak memungkinkan kebebasan atas akses informasi yang kredibel dan memadai. Selama kebijakan kekuasaan tidak memberikan kemudahan untuk mengakses informasi, mengenai dana anggran itu dipakai untuk siapa dan dikeluarkan untuk apa, agaknya pemberantasan korupsi hanya sekedar wacana dan tidak ada tindak lanjut.
Pemberantasan korupsi hanya akan menjadi ilusi. Karena itu yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan yang tepat, akurat dan tegas serta mensosialisasikan bahwa selain terorisme, korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusian. Melalui pembuktian hukum yang adil dan ketegasan visi politik yang bermoral, korupsi harus dijadikan sebagai agenda utama dan pertama untuk melahirkan sistem pemerintahan yang bersih (clean government).
Dengan visi yang semacam itu, maka siapa yang melakukan korupsi berarti dia melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Pelanggarnya mendapatkan hukum yang berat karena dia melanggar harkat dan martabat kehidupan. Penyelewengan dana yang seharusnya diperuntukkan untuk kehidupan masyarakat malah digunakan untuk kepentingan pribadi, sekecil dan seremeh apa pun, harus diusut secara tuntas melalui mekanisme hukum yang adil. Sebab cara seperti itu membuat orang lain mengalami penderitaan dalam kehidupannya.
Akibat-akibat korupsi
Berbagai akibat dari korupsi akan timbul kemudian, seperti :
Berbagai bentuk ketidakadilan pada saat-saat yang menyedihkan. Seperti banyaknya kematian akibat paceklik karena bantuan untuk mereka dicuri para koruptor, dan pemalsuan obat-obatan pada saat darurat. Maka kerugian akibat korupsi lebih besar dari keuntungannya.
Akan mengabaikan tuntutan pemerintah yang layak. Sebab perhatiannya hanya tertuju pada korupsi.
Ketidakefisienan yang menyeluruh dalam birokrasi, karena mengabaikan alternatif lainnya yang realistis dan rasional. Keuntungan dari penyuap adalah kerugian bagi pemerintah.
Menciptakan kelalaian yang disebut efek psikosentris yang memiliki dua kutub bertentangan, yakni memperbesar semangat pada fokus tertentu, dan mematahkan semangat pada sejawat yang tidak terlibat korupsi.
Menyuburkan kejahatan lain, yakni adanya sindikat kejahatan yang dapat membengkokkan hukum.
Pengaruh kolektif dan kumulatifnya adalah melemahnya semangat perangkat birokrasi, memberikan pelayanan palsu dan kerjanya tidak tulus.
Memantapkan kekuasaan dan kebebasan berbuat. Seperti membuang limbah industri secara ilegal yang menghancurkan lingkungan hidup.
Status dan penghargaan. Suatu ilustrasi, betapa parahnya korupsi dan kemerosotan rohaniah adalah pemakaman Big Jim Colosimo, tokoh bandit Chicago, pelayatnya dari berbagai unsur yang tidak selaras atas penghormatan bagi seorang bandit.
Suka kemewahan. Peti jenazah Dion O’Banion yang ditembak mati tahun 1924 seharga 10.000 dolar, dan semua biaya pemakamannya 100.000 dolar
Pengkhianatan. Yakni membantu musuh dalam perang. Seperti saat perang Vietnam, perlengkapan militer dan obat-obatan jatuh ke tangan Vietkong melalui pasar gelap.
Kejahatan yang terorganisasi yang menginginkan uang dan kekuasaan, yakni kesusilaan dan hukum yang khusus dan rahasia, sehingga orang tidak sadar bahwa mereka dipengaruhi.
Terkumpulnya kekayaan dan kekuatan besar, sehingga orang tidak mampu membongkar dan mendapat balasan yang sering menghancurkan.
Beban ekonomi jatuh pada masyarakat. Suap dimasukkan biaya, maka harga-harga menjadi mahal, di samping pajak dan pungutan lain yang sah. Negara kekurangan dana untuk melaksanakan fungsinya secara layak.
Daftar Pustaka:
  • Denny J.A. 2006. Parliament Watch, Eksperimen Demokrasi : Dilema Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
  • Elliott, Kimberley Ann. 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
  • S.H. Alatas. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta : LP3ES.
  • Solomon, Robert C.1987. Ethics : A Brief Introduction. Terj. Etika : Suatu Pengantar. Terj. Penerbit Erlangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar