Sedikit ceritera tentang
masuknya agama Katolik di Flores Timur, khususnya Solor dan Larantuka. Ini
penting karena umat Katolik di sana boleh dikata paling tua di Indonesia. Kalau
orang Jawa baru dipermandikan sebagai jemaat Katolik pada 14 Desember 1904 di Sendangsono,
Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta, di Solor dan Larantuka
bahkan sejak abad ke-16.
Artinya, orang Flores Timur lebih dulu 300
tahun ketimbang orang Jawa. Tapi bukan berarti orang perilaku orang
Flores lebih baik. Bisa saja lebih brengsek karena keyakinan agama hanya di
bibir atau KTP saja. Bukankah lebih banyak orang yang hanya memuji Tuhan dengan
bibir dan bukan tindakan?
Menurut catatan sejarah,
pedagang Portugis mulai tinggal di Solor, pulau kecil di depan Larantuka,
kira-kira lima kilometer, sejak 1520. Mula-mula berdagang, cari rempah-rempah
di kawasan timur. Mereka bikin rumah-rumah sederhana. Karena orang Portugis ini
beragama Katolik, mereka berdoa ala Katolik di sana. Baru pada 1561 empat pater
Ordo Dominikan dikirim dari Melaka ke Solor.
Empat pater itu menetap di
Solor. Selain melayani pedagang-pedagang Portugis, para misionaris itu
mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing, agama baru, tidak
diterima begitu saja. Terjadi sejumlah perlawanan berdarah-darah. Asal tahu
saja, orang Flores pada abad-abad itu dikenal suka perang dan berburu. Lihat
saja, tari perang sangat populer sampai sekarang, bukan?
Untuk melindungi diri dari
serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di
Lohayong, Kecamatan Solor Timur sekarang. Penyebaran agama Katolik di Kepulauan
Solor [sekarang Kabupaten Flores Timur] sukses besar. Berdasar catatan Mark
Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang baru saja melakukan
reportase di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan fasilitas
lain.
Bahkan, sebuah seminari
dibikin di dalam Benteng Lohayong tersebut. Pada tahun 1600 sedikitnya ada 50
siswa [seminaris] yang belajar mempersiapkan diri sebagai rohaniwan Katolik.
Beta bisa pastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Ada gereja
bernama Nossa Senhora da Piedade. Beberapa tahun kemudian dibangun Gereja São
João Baptista. Singkat cerita, hingga 1599 misionaris perintis ini berhasil
mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya.
Namun, kekuasaan Portugis
tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke
Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu
penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis ternyata
kalah setelah berperang tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke
tangan Belanda. Kompeni-kompeni Londo ini mengganti nama benteng menjadi ”Benteng Henricus”.
Solor tempo dulu rupanya
sangat menggiurkan. Tidak macam Solor sekarang yang kering, terisolasi, kurang
maju, dengan penduduk yang suka jualan jagung titi dan atanona (srikaya) di
Larantuka. Tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong [ibukota Solor], tapi
datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada
1629-30, dan segera diisi kembali oleh Portugis hingga 1646 ketika diusir lagi
oleh Belanda.
Yah, Portugis ternyata selalu
kalah dengan Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Portugis juga
cenderung pengecut lah! Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah
ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Berantakan.
Melihat suasana yang tidak kondusif--meminjam bahasanya polisi
sekarang--pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.
Selanjutnya, Larantuka yang
berada di pinggir laut itu menjadi pusat misi Katolik di Nusa Tenggara Timur,
kemudian Timor Timur, bahkan Indonesia. Misi di Larantuka ternyata jauh lebih
sukses. Ini karena ada traktat antara Belanda dan Portugis untuk membiarkan
para pater Dominikan menyebarkan agama Katolik di seluruh Flores dan
sekitarnya. Di dekat Larantuka juga dibikin seminari.
Yoseph Yapi Taum, peneliti dan
dosen Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, menulis:
"Tahun 1577 saja sudah
ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores. Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi
besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan
Belanda di Malaka.
Sejak itulah kebanyakan
penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan
Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan
Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di
Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik."
Kota Larantuka juga berkembang
sebagai kota pelabuhan yang penting. Karena penduduknya didominasi warga Melayu
Katolik pelarian dari Malaka, maka bahasa sehari-hari alias lingua franca pun
bahasa Melayu. Hanya saja, bahasa Melayu Larantuka ini sudah tercampur bahasa
Lamaholot [bahasa asli di Flores Timur] serta istilah-istilah Portugis.
Orang Larantuka kemudian
dikenal sebagai penjaga tradisi Katolik-Portugis sampai hari ini. Setiap Jumat
Agung penduduk Larantuka mengadakan perarakan keliling kota sepanjang malam
yang disebut Semana Santa. Padahal, konon, di Portugis sendiri tradisi abad
ke-16 ini sudah tidak ada lagi. Apalagi, orang Portugis seperti orang Eropa
umumnya, makin sekuler dan nyaris tidak berminat lagi pada agama.
Kembali ke Pulau Solor dengan
benteng di Lohayong alias Fort Hendricus. Saat ini kondisinya sangat
memprihatinkan. Jangankan dirawat sebagai cagar budaya, tonggak sejarah masuknya agama Katolik di Indonesia.
Ditengok saja hampir tidak pernah. Ketika beta tinggal di Larantuka medio
1980-an, beta tak pernah melihat ada kunjungan wisata ke Lohayong. Orang-orang
Larantuka [Nagi] malah sering melihat orang Solor dengan sebelah mata.
Orang-orang Solor sering
diejek sebagai "orang Sopung" dengan begitu banyak cerita konyol.
Mirip dengan orang Madura di Jawa Timur yang kerap diledek sebagai bahan
guyonan. Celakanya, pemerintah daerah pun tidak sadar sejarah. Aset sejarah
yang luar biasa ini tak pernah dipromosikan. Alih-alih dipromosikan, sekadar
ditengok saja pun tak.
Karena itu, beta sangat
gembira ketika membaca di internet ada tulisan/foto karya Mark Schellekens dan
Greg Wyncoll. Dua orang ini jauh-jauh datang dari Eropa untuk meneliti semua
peninggalan sejarah Portugis di Indonesia. Cerita dan foto tentang peninggalan
Portugis di Solor seperti benteng atau meriam tua mendapat porsi paling besar.
Lha, kok kita, orang Flores
Timur, orang Katolik, justru mengabaikannya. Apa boleh buat, kita terpaksa
mempelajari sejarah kampung halaman kita sendiri dengan merujuk pada
sumber-sumber di Eropa. Mau bilang apa?
betul sekali,,ni juga membuka mata kaum muda solor untuk lebih mengalih aset budaya kita,taklupa pesan buat ippmas buatlah kegiatan yang mempromosikan aset budaya kita terutama benteng lohayong,,,,,salam ippmas,,soga lewo naran ikit tanah maken,,,,berbanggalah menjadi orang solor,,,,,!!!!!
BalasHapusThanks ats commentx Oa.....
HapusSmoga kita smakin memahami diri qt sbgai generasi penerus lewotana solor tercinta.....
salah satux cntohnya spt, menjaga dan mempromosikan aset budaya qt ini.....