Kamis, 17 Mei 2012

Nasip Petani Jambu Mente di Flotim

Oleh : Lewotana Demom Pagong

Sebagaimana diberitakan di Kompas.com, Rabu 11 Maret 2009, para petani jambu mete organik di Desa Ile Padung Kabupaten Flores Timur mengeluh karena pembayaran hasil panen sekitar Rp 200 juta oleh pengusaha UD Nusa Permai di Ende belum dibayar hingga Maret 2009, dengan alasan pihak pengusaha mengalami keterbatasan keuangan.

Menurut Kepala Desa Ile Padung, Petrus Pati Maran, satu-satunya pengusaha yang menampung mete organik petani Ile Padung adalah UD Nusa Permai, karena pengusaha ini sudah memiliki sertifikat organik dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh Institute for Marketecology (IMO) Switzerland, sehingga bisa diakui di pasar internasional. Sementara itu produk mete organik dari Desa Ile Padung ini juga telah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi IMO, dimana harga gelondongan yang dibeli dari petani rata-rata Rp 10.000,- per kg.

Kalau saja pemerintah daerah kita bisa berpikir lebih taktis dan strategis, maka seharusnya produk perkebunan kita seperti jambu mete yang sudah ditetapkan sebagai varietas unggul nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian ini, harus dilindungi misalnya, dengan membentuk semacam Perusahaan Daerah yang khusus mengelola hasil perkebunan ini mulai dari hulu hingga ke hilir. Mulai dari penyiapan benih hingga proses pengolahan dan pemasaran. Dengan cara itu, pemerintah daerah kita akan mendapat keuntungan yang lebih optimal dari produk jambu mete ini, tidak hanya dalam hal meningkatkan pendapatan daerah berupa retribusi dan pajak, tetapi juga untuk menjamin peningkatan pendapatan petani dalam hal kepastian harga jual dan penyerapan tenaga kerja di desa. Sehingga petani kita menjadi lebih bergairah di dalam memajukan produksi jambu mete ini.

Coba kita lihat berapa banyak angkatan kerja usia produktif di daerah kita yang meninggakan kampung halaman untuk merantau di Malaysia atau di daerah lain dari tahun ke tahun, sementara di kampungnya sendiri berdiri hamparan tanaman mete yang dibiarkan tidak terawat. Pada hal di Malaysiapun mereka juga bekerja sebagai buruh tani di perkebunan kelapa sawit.

Selama ini beberapa produk perkebunan kita seperti mete, kemiri, asam, kacang tanah, rumput laut dan kopra, kebanyakan dijual ke pedagang di Surabaya dan Makassar tanpa ada label atau merek dagang apapun. Akibatnya produk perkebunan kita tidak begitu dikenal di pasaran, karena setelah sampai di Surabaya atau Makassar, oleh pedagang setempat diubah dengan label atau merek dagang daerah mereka. Sehingga orang lebih mengenal produk tersebut seolah-olah berasal dari daerah Surabaya atau Makassar pada hal, asal muasal produk itu berasal dari daerah kita.

Karenanya, dengan perdagangan bebas seperti saat ini, pemerintah kita harus lebih taktis dan strategis di dalam mengatur dan melindungi produk perkebunan kita, sehingga bisa meningkatkan nilai tambah dari produk perkebunan yang kita hasilkan.

Sebetulnya banyak pemerintah daerah di tempat lain sudah melakukan hal yang sama untuk mengatur dan melindungi produk pertanian, perkebunan dan kelautan di daerah mereka, kenapa kita tidak memulai untuk melakukan hal yang sama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar