Kamis, 17 Mei 2012

Filsafat Lingkungan Masyarakat Adat Lamaholot

Oleh: Vianney Leyn & Sipri Daton

I. Prolog

Sejak zaman para filsuf Miletos seperti Thales dan kawan-kawan, alam telah menjadi salah satu pokok perhatian mereka dalam refleksi filosofis mereka tentang unsur dasar ...dari segala sesuatu yang ada dan hidup di dunia ini. Dalam perkembangan lebih lanjut, Levinas justru mengantar kita untuk menyadari bahwa manusia dan alam dunia bersama segala isinya merupakan satu kesatuan yang membentuk elemen. Kesatuan ini tidak dapat dilepaspisahkan satu dengan yang lain.

Sehubungan dengan hal ini, kita dapat melihat bahwa hingga saat ini juga masyarakat pada umumnya memiliki pandangan tersendiri tentang hubungannya dengan alam yang menjadi tempat tinggalnya. Masyarakat di setiap daerah tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda akan hal tersebut. Demikian juga masyarakat adat Lamaholot juga memiliki filsafatnya sendiri berkaitan dengan alam.


Bagi masyarakat adat Lamaholot alam merupakan simbol kekuatan yang mewakili Wujud Tertinggi yaitu Lera Wulan Tana Ekan. Orang Lamaholot yakin serta percaya sepenuhnya bahwa keselarasan hubungan antara Wujud Tertinggi dengan manusia sangat tergantung bagaimana manusia yaitu masyarakat menjaga alam sekitarnya. Menjaga keharmonisan hubungan berarti menjaga juga hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Begitu pula sebaliknya, merusak alam berarti merusak hubungan keduanya.



II. Konsep Tentang Alam Dalam Masyarakat Adat Lamaholot

Hidup manusia sama sekali tidak bisa dilepas-pisahkan dari alam dunia di mana ia berpijak dan tinggal. Ini merupakan sebuah kemestian yang tak terbantahkan. Kebenaran ini tentu menciptakan sebuah relasi timbal balik antara alam dunia dan manusia. Artinya, bila manusia sungguh merawat alam dengan penuh tanggung jawab maka alamnya juga akan memberikan perlindungan kepadanya; dan sebaliknya bila manusia senantiasa mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab maka suatu ketika manusia akan ditimpa bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Relasi serupa juga ada dalam masyarakat adat Lamaholot yang juga memiliki persepsi tertentu tentang alam (filsafat tentang lingkungan hidup atau alam) yang pada akhirnya juga mempengaruhi sikap dan tindakan mereka terhadap alam atau lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dalam beberapa ungkapan adat berikut:



Ema sin tobi lolon

Bapa dadi manuk inang
Tobi lolon pito getan
Manuk inang lema gait

Arti harafiah:

Ibu adalah asal dari daun asam, bapa sumber ayam betina, daun asam berjumlah tujuh, ayam berjumlah lima.

Penjelasan arti:

Pohon asam dikenal sebagai pohon yang senantiasa hijau dan selalu rimbun daunnya meskipun di musim kemarau. Ini merupakan simbol segala tanaman atau tumbuhan. Ayam merupakan korban ternak yang bernilai tinggi dalam setiap upacara adat Lamaholot. Ayam merupakan simbol dari segala binatang. Angka tujuh merupakan lambing kepenuhan dan kegenapan, di mana Allah bekerja selama 6 hari dan pada hari keenam Ia memuji BapaNya, begitu juga dengan angka lima. Hal ini mau menunjukkan bahwa Allah yang disapa Bapa sekaligus Ibu itu telah menjadikan dunia ini sempurna, dalam arti baik adanya. Dengan demikian, makna dari ungkapan adat di atas adalah: Ibu yang merawat tanaman, Bapa yang memelihara hewan, Menggenapi segala jenis tetumbuhan, Mencukupi segala jenis hewan.


Ema peen madun tobi
Bapa peen moren bao
Ema wato lolon mera
Bapa bao puken gowe

Ungkapan adat ini juga masih merupakan satu kesatuan dengan ungkapan adat sebelumnya. Arti dari ungkapan adat ini adalah:

Ibulah sandaran sekokoh asam, Bapalah naungan sesejuk rindangan beringin, Ibulah tempat duduk yang rata, Bapalah penaung sejuk di bawah beringin.
Pohon asam tidak hanya memiliki dedaunan yang senantiasa rimbun tetapi juga memiliki akar dan batang yang kuat, keras, dan kokoh. Inilah lukisan Allah sebagai Ibu, tempat anak-anak-Nya bersandar. Sandaran-Nya sekokoh pohon asam. Sementara itu lukisan Allah sebagai Bapa ditemukan dan simbolisme pohon beringin, tempat bernaung dan berlindung bagi anak-anak.


Tobi tou petin reting

Bao tou page wangeng
Reting pito aeng teti
Wangen lema geng lali
Pito teti toran timu
Lema lali semada warat

Artinya:
Tumpuan (sepohon asam) yang terus membuka cabang - Naungan (sebatang beringin) yang selalu menambah ranting - Cabang mengarah ke segenap penjuru - Ranting merata ke segala arah - Segenap (cabang) menyembah ke timur - Semua (ranting) bersujud ke barat

Ini merupakan sebuah gambaran bahwa alam atau lingkungan adalah pelindung manusia dan juga segala binatang yang ada di bumi. Segala jenis tumbuhan telah menyebar ke segala penjuru dan ke segala arah, mulai dari terbitnya matahari di Timur hingga terbenamnya di sebelah Barat, untuk melindungi manusia, makhluk yang bermartabat luhur itu.

Masyarakat adat Lamaholot hidup dalam suatu lingkungan alam yang memungkinkan mereka hidup dan berpikir secara sosial, total, konkret, intuitif, iduktif, emosional (melibatkan perasaan dalam memandang alam), mitis-magis (memandang alam sebagai penjelmaan Wujud Tertinggi atau roh-roh halus), dan simbolis. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang menguasai manusia sehingga mereka lari dan berlindung pada alam karena manusia yakin bahwa di dalamnya hiduplah para nitu (roh penjaga alam) dan Lera Wulan Tana Ekan.

Masyarakat adat Lamaholot memandang alam sebagai sesuatu yang sakral. Misalnya, puncak gunung yang tinggi ataupun pohon-pohon besar diyakini memiliki roh dan sebagai tempat tinggal roh-roh para leluhur. Kekuatan yang menakutkan sekaligus yang menggentarkan ini akhirnya menggerakkan manusia untuk membawa kurban persembahan seraya memohon perlindungan darinya. Dengan demikian, muncul larangan untuk menebang pohon-pohon besar atau membakar hutan di sekitar lokasi tersebut. Bila larangan ini dilanggar maka manusia akan ditimpa malapateka atau menderita sakit dan bahkan meninggal. Hal ini dapat dimengerti karena manusia sudah memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan alam di mana ia tinggal dan hidup.



III. Epilog

Beberapa waktu terakhir kita bergulat dan bergelut dengan sebuah wacana tentang rencana pertambangan di Flores dan Lembata. Wacana ini menuai sebuah polemik yang berjalan alot antara kelompok yang pro tambang dan yang menentang rencana tambang. Pihak pemerintah dalam kerjasama dengan investor asing tampaknya begitu getol untuk melaksanakan proyek besar pertambangan di Flores dan Lembata dengan mengusung misi mensejahterahkan rakyat dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Sementara itu kelompok kontra (masyarakat, LSM dan Gereja) menilai proyek ini berkiblat hanya semata pada uang dan diperuntukan bagi kepentingan parsial sekelompok orang. Misi awal untuk mensejahterahkan rakyat hanyalah iming-iming untuk mempengaruhi rakyat kacil. Rakyat diperbodoh dan pada akhirnya menyerahkan tanah, tempat di mana mereka hidup, untuk dijadikan lokasi pertambangan. Pihak pemerintah sudah dibutakan oleh investor asing dengan uang sehingga tidak sanggup melihat jauh ke depan, apa yang akan terjadi dengan lingkungan alam bila proyek besar itu dilaksanakan. Ini merupakan argumentasi mengapa rencana tambang harus ditolak dengan tegas.
Berhadapan dengan realitas ini, filsafat lingkungan hidup dalam budaya masyarakat adat Lamaholot menjadi nilai-nilai budaya yang mesti dijunjung tinggi. Ungkapan-ungkapan adat tersebut seyogianya menjadi roh yang senantiasa menggerakan setiap orang untuk selalu menaruh cinta pada alam. Alam dan kebudayaan tidak boleh dipahami secara antagonistis. Alam harus ditata lewat kebudayaan, sesuai dengan martabat manusia dan kesejahteraannya. Kebudayaan tanpa alam akan tanpa ada kehidupan, dan alam tanpa kebudayaan hanya akan membawa kepada kehidupan barbar (Ceunfin, Filsafat Budaya Pendekatan Psikoanalistis-Aksiologis, 2004. P. 121).

Alam atau lingkungan adalah locus di mana kita hidup dan mengembangkan diri, dan alam atau tata semesta juga merupakan bagian dari komunitas hidup. Oleh karena itu, adalah dosa bila kita mengobjektivasi alam dengan merusaknya atau mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab. Manusia harus membangun relasi parsipatif dengan alam, artinya manusia masuk dan berpartisipasi dalam keseluruhan tata semesta untuk merawat dan menjaganya. Bila manusia dan alam saling berintegrasi, berkorelasi dan bersama-sama membentuk satu keseluruhan yang harmonis, maka terciptalah cosmos; dan sebaliknya bila manusia melukainya, maka akan terjadi chaos.***



Tulisan ini disadur dari salah satu Bahan Seminar.
Saya (dan teman saya, Sipri Daton) mengakui bahwa tulisan ini jauh dari sempurna dan mungkin ada kekeliriuan, terlebih dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan adat di atas. Karena itu kami memohon maaf dan dengan lapang menerima ide-ide brilian (kritik dan saran) dari teman-teman semua. Untuk semuanya itu, saya ucapkan limpah terima kasih. Salam Lewo Tanah!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar