oleh : Vianney Leyn
I. Pendahuluan
Kekristenan yang
berkembang di Flores sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang
panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat atau masyarakat. Ada
banyak tantangan yang dihadapi oleh para misionaris ketika mereka mulai
menjejakkan kaki di setiap jengkal tanah misi. Ketika para misionaris mulai
mengadakan kontak dengan penduduk asli, di sana bisa muncul perbenturan antara
misi para misionaris untuk menyebarkan agama (gospel, di samping misi gold dan
glory) dengan kubudayaan asli masyarakat seperti kepercayaan asli serta
berbagai ritus yang dipraktikkan; tetapi juga ada pendamaian antara keduanya.
Perjumpaan antara para misionaris dengan masyarakat asli membentuk suatu proses
dialog antara agama (evangelisasi) dan budaya yang melahirkan berbagai
kemungkinan: asimilasi, bila yang terjadi adalah saling mengambil yang terbaik;
konfrontasi, yakni bila terjadi antagonisme atau perlawanan yang saling
membentur; dan adaptasi, yakni konfrontasi damai (Sutrisno, Ide-ide Pencerahan,
2004. P. 378). Ini merupakan sebuah proses evangelisasi yang telah menenun
sebuah sejarah besar yakni sejarah gereja di Flores atau misi di kepulauan
Solor yang meliputi Flores daratan, Solor, Adonara, dan Lembata.
Masyarakat Lamaholot
sebagai suatu kelompok yang mengalami kontak langsung dengan para misionaris
juga memiliki pengalaman sejarah yang hampir serupa. Namun penulis tidak
berkutat terlalu lama untuk merekonstruksi pengalaman sejarah itu. Penulis juga
tidak menguraikan praktik suatu ritus dalam masyarakat Lamaholot sebagai bentuk
penghormatan kepada Wujud Tertinggi. Penulis hanya memfokuskan uraian pada
salah satu bagian kecil dari berbagai ritus yang dipraktikkan seperti membuka
lading baru, musim tanam dan panen atau adat kematian, yakni Nuba Nara, simbol
Wujud Tertinggi dalam kepercayaan asli atau kepercayaan tradisional masyarakat
Lamaholot. Meskipun Nuba Nara sebagai bagian kecil dari proses sejarah yang
panjang dan rumit itu, namun bagi penulis, Nuba Nara merupakan nukleus dari
seluruh struktur sejarah perkembangan agama Kristen di Flores. Pengalaman di
hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktikan merupakan starting point
atau tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah, yang oleh masyarakat Lamaholot
disapa sebagai Lera Wulan Tana Ekan. Karena itu, tulisan ini lebih bernada
hermeneutis atau sebagai sebuah tafsiran atas simbol Nuba Nara, karena kepada
Nuba Nara-lah berkiblat seluruh ritus adat.
II. Nuba Nara: Simbol
Wujud Tertinggi Dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot
2.1 Memahami Arti
Nuba Nara
Pembicaraan tentang
Nuba Nara tidak terlepas dari rumah adat masyarakat Lamaholot yang disebut
korke atau koke bale. Setiap kampung memiliki korke atau rumah adatnya masing-
masing. Konstruksi rumah adat ini berupa bangunan tinggi dengan atap lancip
yang terbuat dari alang-alang. Korke berfungsi sebagai tempat menyimpan
benda-benda pusaka namun terutama sebagai tempat kebaktian pelaksanaan berbagai
ritus adat dan pusat sosialisasi atau pertemuan adat. Di dekat tiang induk
ditanam sebongkah batu panjang yang dianggap sebagai tempat istirahat Lera
Wulan Tana Ekan. (Lera Wulan, berarti “matahari-bulan”. Digabungkan menjadi
satu kata berarti “langit”. Tana Ekan berarti “bumi”, permukaan bumi, tempat”).
Di sekeliling batu itu disusun melingkar lempengan lempengan batu licin. Di
tempat inilah dipersembahkan kurban berupa ternak dan juga hasil kebun (Herin,
Lewo Mayen Tana Doen, 2008. P. 5).
Dalam masyarakat adat
Lamaholot terdapat juga empat suku besar yang memiliki peranan yang sangan
penting dalam berbagai urusan adat, yakini koten, kelen, hurint, dan maran.
Koten, berarti kepala, yaitu syarat mutlak agat tetap hidup. Dalam kehidupan
sosial, koten memiliki kedudukan sebagai kepala/ketua atas suku-suku lain di
dalam sebuah kampung. Di dalam ritus kurban, koten bertugas untuk memegang
kepala hewan atau menarik tali yang terikat pada leher hewan ketika hewan itu
hendak dikurbankan. Kelen adalah suku yang bertugas memegang kaki atau menarik
tali yang terikat pada kaki hewan ketika hendak dikurbankan. Kedua kelompok
suku Koten dan Kelen umumnya dipandang sebagai tuan tanah. Hurint adalah
kelompok suku yan menyimpan parang keramat dan bertugas memotong hewan. Sedangkan
maran adalah keompok suku yang bertugas mewakili seluruh masyarakat untuk
menyampaiakan ujud persembahan kurban kepada Lera Wulan Tana Ekan.
Secara Etimologis,
Nuba Nara berasal dari kata “tubak dan tarak”. Tubak artinya
menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan tarak artinya tertikam, mengarah ke
tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Di sini dapat
dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman atau kejatuhan adalah langit, sorga;
sedangkan tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi, dunia. Nuba adalah
surga yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah juga surga yang
tinggal tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia: Nuba Lera Wulan –
Nara Tana Ekan. Nuba Nara juga mengungkapkan ketakterpisahan antara surga dan
bumi. Hal ini terbaca dalam koda atau ungakapan adat (sabda): lera wulan gikat
teti lodo hau, tana ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin
taan ro uin na, gahan taan ro kahana (Surga turun dari atas, bumi naik dari
bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak
terpisah-pisahkan).
2.2 Nuba Nara: Simbol
Wujud Tertinggi dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot
Simbol adalah
seperangkat tanda yang disepakati oleh konsensus pemakainya untuk menandai atau
mempresentasikan entitas tertentu. Simbol mewakili sesuatu yang lain; Yang lain
itu dibahasakan lewat simbol.
Nuba Nara dalam kepercayaan asli masyarakat Lamaholot merupakan simbol dari Wujud Tertinggi yang akrab disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan. Nuba Nara diyakini sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan maka tidaklah mengeherankan jika berbagai ritus adat dilaksanakan di dekat Nuba Nara. Kita lalu bisa memahami bahwa Nuba Nara bukan hanya sebuah tiang batu beserta lempengan-lempengan batu di sekitarnya tetapi ia melampaui benda-benda mati itu. Nuba Nara adalah Lera Wulan Tana Ekan (Allah), Nuba Nara adalah Koda (Sabda, Yesus Kristus), Nuba Nara adalah Roh yang diam dan hidup dalam dunia Lamaholot.
Nuba Nara dalam kepercayaan asli masyarakat Lamaholot merupakan simbol dari Wujud Tertinggi yang akrab disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan. Nuba Nara diyakini sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan maka tidaklah mengeherankan jika berbagai ritus adat dilaksanakan di dekat Nuba Nara. Kita lalu bisa memahami bahwa Nuba Nara bukan hanya sebuah tiang batu beserta lempengan-lempengan batu di sekitarnya tetapi ia melampaui benda-benda mati itu. Nuba Nara adalah Lera Wulan Tana Ekan (Allah), Nuba Nara adalah Koda (Sabda, Yesus Kristus), Nuba Nara adalah Roh yang diam dan hidup dalam dunia Lamaholot.
Pada bagian
sebelumnya dikatakan bahwa Nuba Nara adalah koda atau Sabda yang terungkap
dalam koda atau kata-kata: lera wulan gikat teti lodo hau, tana ekan tama lali
gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana.
(Keda Stef Kopong, Lewotana-Nubanara-Tanaeka-Witihama, p. 2). Bagi masyarakat
Lamaholot, koda atau sabda ini merupakan sabda yang paling pokok, pengasal
segala sabda. Koda di sini sesungguhnya mau mengungkapkan prbadi Yesus Kristus,
yang adalah Sabda Yang Menjadi Manusia. Kekuatan koda/sabda inilah yang
memampukan orang Lamaholot untuk menyapa Lera Wulan Tana Ekan, memanjatkan doa,
menyembah dan berbakti kepadanya. “Pada mulanya adalah Sabda; Sabda itu
bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah”, demikian prolog Injil
Yohanes (Yoh. 1:1-2).
Dalam setiap ritus
yang diadakan oleh masyarakat Lamaholot, misalnya membuka ladang baru atau
upacara minta hujan, tersirat suatu pengakuan bahwa ada suatu kekuatan yang ada
di luar diri, kekuatan yang melampaui eksistensi masyarakat lamaholot sebagai
manusia, kekuatan adikodrati. Di hadapan realitas ketidakberdayaan, masyarakat
Lamaholot yakin akan adanya suatu kekuatan yang mengatasi seluruh hidup mereka,
WUJUD TERTINGGI, yang merupakan asal dan tujuan hidup.
Maka konsekuensi
logisnya, masyarakat Lamaholot mesti tetap menjaga hubungan baik dengan Wujud
Tertinggi untuk menjamin kelangsungan hidup. Usaha untuk menjaga hubungan yang
baik itu diwujudkan lewat pelaksanaan berbagai ritus; dan PENGALAMAN
MEMBUKTIKAN BAHWA SETELAH PELAKSANAAN RITUS ITU, BERBAGAI PERSOALAN MANUSIA MULAI
TERJAWAB. Sebuah pengalaman kecil: ketika masih di bangku SLTP, saya pernah
menghadiri sebuah ritus minta hujan. Ada sejumlah hewan piaraan seperti babi
dan kambing dikurbankan dalam ritus itu. Menjelang sore, kabut hitam mulai
menggumpal di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Ini merupakan sebuah
pengalaman, yang oleh Abraham Maslow disebut sebagai pengalaman
puncak/ekstase/pengalaman transenden, pengalaman akan sesuatu kekuatan yang
melampaui eksistensi manusia sebagai ciptaan yang terbatas terkhusus ketika
berhadapan dengan realitas “penderitaan” ataupun kesulitan hidup lainnya
seperti susahnya curah hujan atau kemarau panjang, gagal panen dan lain
sebgainya. Masyrakat Lamaholot yakin bahwa Lera Wulan Tana Ekan-lah yang
berkuasa atas seluruh hidup mereka. Maka kepadanyalah mereka mengarahkan
seluruh hidup. Dan keyakinan akan Allah sebagai Penguasa Tunggal atas seluruh
hidup merupakan transformasi dari pengalaman akan Lera Wulan Tana Ekan.
Pengalaman di hadapan Nuba Nara merupakan religiositas asli karena itu tidak
boleh dimusnahkan melainkan mesti ditransformasikan kepada suatu pengalaman
akan Yang Ilahi.
PENUTUP
Pengalaman kedatangan
para misionaris di Larantuka untuk menyebarkan agama Kristen juga menjumpai
berbagai ritus kepercayaan asli masyarakat Lamaholot. Fransen, seorang
misionaris penerus karya perintisan Sanders sejak Desember 1861 dan menjadi
wakil Gereja katolik sampai dengan penghujung 1863, adalah tokoh pejuang paling
gigih melawan segala macam “penyembahan berhala”. Ia menggunakan metode
inkuisisi dan memdapat masukan dari para informan. Fransen dikenal sebagai
seorang pemberani, kejam, namun juga terbuka dan jujur. Berhadapan dengan
berbagai ritus yang diprakikkan oleh masyarakat Lamaholot, ia tidak melontarkan
kecam ataupun menghina (Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942,
2006. pp. 182-183). Perlahan-lahan semua praktik religius asli masyarakat
Lamaholot itu dipelajari dan pada akhirnya dirangkul dalam kekristenan. Hal ini
menjadi begitu urgen dalam membangun dialog dengan orang-orang yang
berkepercayaan lain.
Karl Rahner sendiri
telah meletakan sebuah dasar yang menjadi tolak pijak dalam membangun dialog
dengan agama-agama non Kriseten, termasuk berbagai kepercayaan asli yang
berkembang di masyarakat. Tolak pijak itu adalah paradigma inklusif, yaitu
suatu pola pendekatan yang menggariskan bahwa Allah yang menyelamatkan hadir
dalam agama-agama non Kristen; tetapi keselamatan yang sempurna dan penuh hanya
diperoleh dalam Kristus sebagai revelasi Allah yang definitf dan otoritatif,
yang selanjutnya direfleksikan dan dihayati dalam agama Kristen. Rahner
menyebut orang-orang non Kristen: anonymous Christian (orang Kristen tak
dikenal); artinya mereka juga telah menemukan rahmat Allah yang menyelamatkan
walaupun tidak sedefinitf seperti yang ada dalam agama Kristen.
Ritus yang
dipraktikkan di hadapan Nuba Nara bukanlah bentuk penyembahan berhala yang
mesti dimusnahkan melainkan merupakan bentuk religiositas asli masyarakat
Lamaholot yang mesti dirangkul dalam agama Kristen. Para misionaris telah
menunjukkan itu!
Mantap.....
BalasHapusperfect saya salut karyanya brother,,dengan cara seperti ini kita bisa mengangkat nama lamaholot terkhusus solor nusa cendana tercinta,,,,,,!!!!!!!!!!
BalasHapusSaya tertarik dengan informasi ini. Saya berasal dari pulau pantar, Alor, tepatnya di Baranusa. Saya juga sering mendengar ungkapan "Tana Nuba Nara". Secara geografis dan kultural memang kita sangat dekat, tapi saya baru mendapat pencerahan lewat blog ini perihal ungkapan tersebut. Setidaknya membuka wawasan saya tentang nilai nilai yang telah ditanamkan oleh para leluhur. Terimakasih
BalasHapusTerima kasih atas tulisan ini
BalasHapusTerima.... akhirnya jadi referensi juga.
BalasHapus