Kamis, 17 Mei 2012

Nuba Nara: Simbol Wujud Tertinggi Dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot


oleh : Vianney Leyn
I. Pendahuluan
Kekristenan yang berkembang di Flores sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat atau masyarakat. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para misionaris ketika mereka mulai menjejakkan kaki di setiap jengkal tanah misi. Ketika para misionaris mulai mengadakan kontak dengan penduduk asli, di sana bisa muncul perbenturan antara misi para misionaris untuk menyebarkan agama (gospel, di samping misi gold dan glory) dengan kubudayaan asli masyarakat seperti kepercayaan asli serta berbagai ritus yang dipraktikkan; tetapi juga ada pendamaian antara keduanya. Perjumpaan antara para misionaris dengan masyarakat asli membentuk suatu proses dialog antara agama (evangelisasi) dan budaya yang melahirkan berbagai kemungkinan: asimilasi, bila yang terjadi adalah saling mengambil yang terbaik; konfrontasi, yakni bila terjadi antagonisme atau perlawanan yang saling membentur; dan adaptasi, yakni konfrontasi damai (Sutrisno, Ide-ide Pencerahan, 2004. P. 378). Ini merupakan sebuah proses evangelisasi yang telah menenun sebuah sejarah besar yakni sejarah gereja di Flores atau misi di kepulauan Solor yang meliputi Flores daratan, Solor, Adonara, dan Lembata.
Masyarakat Lamaholot sebagai suatu kelompok yang mengalami kontak langsung dengan para misionaris juga memiliki pengalaman sejarah yang hampir serupa. Namun penulis tidak berkutat terlalu lama untuk merekonstruksi pengalaman sejarah itu. Penulis juga tidak menguraikan praktik suatu ritus dalam masyarakat Lamaholot sebagai bentuk penghormatan kepada Wujud Tertinggi. Penulis hanya memfokuskan uraian pada salah satu bagian kecil dari berbagai ritus yang dipraktikkan seperti membuka lading baru, musim tanam dan panen atau adat kematian, yakni Nuba Nara, simbol Wujud Tertinggi dalam kepercayaan asli atau kepercayaan tradisional masyarakat Lamaholot. Meskipun Nuba Nara sebagai bagian kecil dari proses sejarah yang panjang dan rumit itu, namun bagi penulis, Nuba Nara merupakan nukleus dari seluruh struktur sejarah perkembangan agama Kristen di Flores. Pengalaman di hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktikan merupakan starting point atau tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah, yang oleh masyarakat Lamaholot disapa sebagai Lera Wulan Tana Ekan. Karena itu, tulisan ini lebih bernada hermeneutis atau sebagai sebuah tafsiran atas simbol Nuba Nara, karena kepada Nuba Nara-lah berkiblat seluruh ritus adat.
II. Nuba Nara: Simbol Wujud Tertinggi Dalam Kepercayaan Asli     Masyarakat Lamaholot
2.1 Memahami Arti Nuba Nara
Pembicaraan tentang Nuba Nara tidak terlepas dari rumah adat masyarakat Lamaholot yang disebut korke atau koke bale. Setiap kampung memiliki korke atau rumah adatnya masing- masing. Konstruksi rumah adat ini berupa bangunan tinggi dengan atap lancip yang terbuat dari alang-alang. Korke berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka namun terutama sebagai tempat kebaktian pelaksanaan berbagai ritus adat dan pusat sosialisasi atau pertemuan adat. Di dekat tiang induk ditanam sebongkah batu panjang yang dianggap sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan. (Lera Wulan, berarti “matahari-bulan”. Digabungkan menjadi satu kata berarti “langit”. Tana Ekan berarti “bumi”, permukaan bumi, tempat”). Di sekeliling batu itu disusun melingkar lempengan lempengan batu licin. Di tempat inilah dipersembahkan kurban berupa ternak dan juga hasil kebun (Herin, Lewo Mayen Tana Doen, 2008. P. 5).
Dalam masyarakat adat Lamaholot terdapat juga empat suku besar yang memiliki peranan yang sangan penting dalam berbagai urusan adat, yakini koten, kelen, hurint, dan maran. Koten, berarti kepala, yaitu syarat mutlak agat tetap hidup. Dalam kehidupan sosial, koten memiliki kedudukan sebagai kepala/ketua atas suku-suku lain di dalam sebuah kampung. Di dalam ritus kurban, koten bertugas untuk memegang kepala hewan atau menarik tali yang terikat pada leher hewan ketika hewan itu hendak dikurbankan. Kelen adalah suku yang bertugas memegang kaki atau menarik tali yang terikat pada kaki hewan ketika hendak dikurbankan. Kedua kelompok suku Koten dan Kelen umumnya dipandang sebagai tuan tanah. Hurint adalah kelompok suku yan menyimpan parang keramat dan bertugas memotong hewan. Sedangkan maran adalah keompok suku yang bertugas mewakili seluruh masyarakat untuk menyampaiakan ujud persembahan kurban kepada Lera Wulan Tana Ekan.
Secara Etimologis, Nuba Nara berasal dari kata “tubak dan tarak”. Tubak artinya menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan tarak artinya tertikam, mengarah ke tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Di sini dapat dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman atau kejatuhan adalah langit, sorga; sedangkan tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi, dunia. Nuba adalah surga yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah juga surga yang tinggal tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia: Nuba Lera Wulan – Nara Tana Ekan. Nuba Nara juga mengungkapkan ketakterpisahan antara surga dan bumi. Hal ini terbaca dalam koda atau ungakapan adat (sabda): lera wulan gikat teti lodo hau, tana ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana (Surga turun dari atas, bumi naik dari bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak terpisah-pisahkan).
2.2 Nuba Nara: Simbol Wujud Tertinggi dalam Kepercayaan Asli Masyarakat Lamaholot
Simbol adalah seperangkat tanda yang disepakati oleh konsensus pemakainya untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu. Simbol mewakili sesuatu yang lain; Yang lain itu dibahasakan lewat simbol.
Nuba Nara dalam kepercayaan asli masyarakat Lamaholot merupakan simbol dari Wujud Tertinggi yang akrab disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan. Nuba Nara diyakini sebagai tempat istirahat Lera Wulan Tana Ekan maka tidaklah mengeherankan jika berbagai ritus adat dilaksanakan di dekat Nuba Nara. Kita lalu bisa memahami bahwa Nuba Nara bukan hanya sebuah tiang batu beserta lempengan-lempengan batu di sekitarnya tetapi ia melampaui benda-benda mati itu. Nuba Nara adalah Lera Wulan Tana Ekan (Allah), Nuba Nara adalah Koda (Sabda, Yesus Kristus), Nuba Nara adalah Roh yang diam dan hidup dalam dunia Lamaholot.
Pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa Nuba Nara adalah koda atau Sabda yang terungkap dalam koda atau kata-kata: lera wulan gikat teti lodo hau, tana ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana. (Keda Stef Kopong, Lewotana-Nubanara-Tanaeka-Witihama, p. 2). Bagi masyarakat Lamaholot, koda atau sabda ini merupakan sabda yang paling pokok, pengasal segala sabda. Koda di sini sesungguhnya mau mengungkapkan prbadi Yesus Kristus, yang adalah Sabda Yang Menjadi Manusia. Kekuatan koda/sabda inilah yang memampukan orang Lamaholot untuk menyapa Lera Wulan Tana Ekan, memanjatkan doa, menyembah dan berbakti kepadanya. “Pada mulanya adalah Sabda; Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah”, demikian prolog Injil Yohanes (Yoh. 1:1-2).
Dalam setiap ritus yang diadakan oleh masyarakat Lamaholot, misalnya membuka ladang baru atau upacara minta hujan, tersirat suatu pengakuan bahwa ada suatu kekuatan yang ada di luar diri, kekuatan yang melampaui eksistensi masyarakat lamaholot sebagai manusia, kekuatan adikodrati. Di hadapan realitas ketidakberdayaan, masyarakat Lamaholot yakin akan adanya suatu kekuatan yang mengatasi seluruh hidup mereka, WUJUD TERTINGGI, yang merupakan asal dan tujuan hidup.
Maka konsekuensi logisnya, masyarakat Lamaholot mesti tetap menjaga hubungan baik dengan Wujud Tertinggi untuk menjamin kelangsungan hidup. Usaha untuk menjaga hubungan yang baik itu diwujudkan lewat pelaksanaan berbagai ritus; dan PENGALAMAN MEMBUKTIKAN BAHWA SETELAH PELAKSANAAN RITUS ITU, BERBAGAI PERSOALAN MANUSIA MULAI TERJAWAB. Sebuah pengalaman kecil: ketika masih di bangku SLTP, saya pernah menghadiri sebuah ritus minta hujan. Ada sejumlah hewan piaraan seperti babi dan kambing dikurbankan dalam ritus itu. Menjelang sore, kabut hitam mulai menggumpal di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Ini merupakan sebuah pengalaman, yang oleh Abraham Maslow disebut sebagai pengalaman puncak/ekstase/pengalaman transenden, pengalaman akan sesuatu kekuatan yang melampaui eksistensi manusia sebagai ciptaan yang terbatas terkhusus ketika berhadapan dengan realitas “penderitaan” ataupun kesulitan hidup lainnya seperti susahnya curah hujan atau kemarau panjang, gagal panen dan lain sebgainya. Masyrakat Lamaholot yakin bahwa Lera Wulan Tana Ekan-lah yang berkuasa atas seluruh hidup mereka. Maka kepadanyalah mereka mengarahkan seluruh hidup. Dan keyakinan akan Allah sebagai Penguasa Tunggal atas seluruh hidup merupakan transformasi dari pengalaman akan Lera Wulan Tana Ekan. Pengalaman di hadapan Nuba Nara merupakan religiositas asli karena itu tidak boleh dimusnahkan melainkan mesti ditransformasikan kepada suatu pengalaman akan Yang Ilahi.
PENUTUP
Pengalaman kedatangan para misionaris di Larantuka untuk menyebarkan agama Kristen juga menjumpai berbagai ritus kepercayaan asli masyarakat Lamaholot. Fransen, seorang misionaris penerus karya perintisan Sanders sejak Desember 1861 dan menjadi wakil Gereja katolik sampai dengan penghujung 1863, adalah tokoh pejuang paling gigih melawan segala macam “penyembahan berhala”. Ia menggunakan metode inkuisisi dan memdapat masukan dari para informan. Fransen dikenal sebagai seorang pemberani, kejam, namun juga terbuka dan jujur. Berhadapan dengan berbagai ritus yang diprakikkan oleh masyarakat Lamaholot, ia tidak melontarkan kecam ataupun menghina (Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, 2006. pp. 182-183). Perlahan-lahan semua praktik religius asli masyarakat Lamaholot itu dipelajari dan pada akhirnya dirangkul dalam kekristenan. Hal ini menjadi begitu urgen dalam membangun dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain.
Karl Rahner sendiri telah meletakan sebuah dasar yang menjadi tolak pijak dalam membangun dialog dengan agama-agama non Kriseten, termasuk berbagai kepercayaan asli yang berkembang di masyarakat. Tolak pijak itu adalah paradigma inklusif, yaitu suatu pola pendekatan yang menggariskan bahwa Allah yang menyelamatkan hadir dalam agama-agama non Kristen; tetapi keselamatan yang sempurna dan penuh hanya diperoleh dalam Kristus sebagai revelasi Allah yang definitf dan otoritatif, yang selanjutnya direfleksikan dan dihayati dalam agama Kristen. Rahner menyebut orang-orang non Kristen: anonymous Christian (orang Kristen tak dikenal); artinya mereka juga telah menemukan rahmat Allah yang menyelamatkan walaupun tidak sedefinitf seperti yang ada dalam agama Kristen.
Ritus yang dipraktikkan di hadapan Nuba Nara bukanlah bentuk penyembahan berhala yang mesti dimusnahkan melainkan merupakan bentuk religiositas asli masyarakat Lamaholot yang mesti dirangkul dalam agama Kristen. Para misionaris telah menunjukkan itu!
Ditulis oleh Fidelis Leyn

5 komentar:

  1. perfect saya salut karyanya brother,,dengan cara seperti ini kita bisa mengangkat nama lamaholot terkhusus solor nusa cendana tercinta,,,,,,!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  2. Saya tertarik dengan informasi ini. Saya berasal dari pulau pantar, Alor, tepatnya di Baranusa. Saya juga sering mendengar ungkapan "Tana Nuba Nara". Secara geografis dan kultural memang kita sangat dekat, tapi saya baru mendapat pencerahan lewat blog ini perihal ungkapan tersebut. Setidaknya membuka wawasan saya tentang nilai nilai yang telah ditanamkan oleh para leluhur. Terimakasih

    BalasHapus
  3. Terima.... akhirnya jadi referensi juga.

    BalasHapus