Mentalitas kolektif dan kosmologis orang Lamaholot
"Tenang-tenang Menghanyutkan"
* Bahasa orang Lamaholot
Selain beraneka ragam suku, dan ritusnya, orang Lamaholot memiliki
banyak bahasa. Memang pada awalnya, hanya ada satu bahasa yang digunakan
yaitu bahasa Lamaholot, namun dengan adanya percampuran penduduk dari
suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari.
Adanya bermacam-macam bahasa ini sangat dipengaruhi oleh letak
geografis. Meskipun demikian, perbedaan ini bukanlah sebuah penghalang
dalam menciptakan dan melestarikan budaya Lamaholot yang telah ternanam
dalam diri setiap orang Lamaholot. Justru perbedaan ini menjadi sumber
kekayaan, aset dan daya tarik baik bagi orang Lamaholot sendiri maupun
bagi orang lain.
Berdasarkan pengamatan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ada
tiga bahasa yang digunakan oleh orang Lamaholot, selain bahasa
Lamaholot itu sendiri. Bahasa Lamaholot terbagi menjadi dua yaitu
Lamaholot dengan dialek barat (dipakai di bagian barat Kabupaten Flores
Timur) dan Lamaholot dengan dialek timur (dipakai di wilayah Tanjung
Bunga, Adonara, Solor dan sebagian Lembata).
Selain bahasa Lamaholot, orang-orang yang ada di Lembata bagian
selatan menggunakan bahasa Lebala-Boto, sebagai bahasa sehari-hari.
Bahasa Kedang digunakan oleh orang Lembata bagian timur. Sedangkan di
Kota Larantuka sendiri, para penduduknya menggunakan bahasa nagi
(perpaduan antara bahasa Indonesia dengan Melayu/Malaka). Hampir semua
orang Lamaholot generasi sekarang dapat menguasai beberapa bahasa itu,
khususnya bahasa nagi.
Mentalitas orang Lamaholot
Bagi budaya Lamaholot, keberadaan suku sangat menentukan
keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar
dicurahkan bagi suku. Kenyataan ini sangat mempengaruhi cara pandang
atau cara pikir orang Lamaholot. Umumnya orang Lamaholot akan berpikir,
berkehendak, bertingkah laku secara kolektif. Artinya berbuat sesuatu
karena didasari oleh pemahaman bahwa manusia tidak mungkin hidup
sendirian atau tidak dapat berbuat sesuatudari dirinya sendiri. Manusia
membutuhkan orang lain untuk membuktikan bahwa ia ada. Dalam hal ini
kebersamaan merupakan tekanan utama sebagai suatu suku, kelompok dan
masyarakat. Maka, yang dipentingkan dalam suku, kelompok atau masyarakat
adalah kepentingan, kerukunan, kebersamaan, keharmonisan dalam suku
atau kelompok tersebut.
Sebagai contoh, dalam budaya Lamaholot perkawinan seseorang dalam
sebuah suku merupakan pesta suku tersebut. Karena merupakan pesta suku,
maka penyelenggara pesta tersebut adalah semua anggota suku. Dalam
keadaan seperti ini, mau tidak mau, setiap anggota wajib menyumbang
sesuatu untuk suku, sebab kalau tidak memberi sesuatu, betapa malunya
orang itu. Maka, entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu,
tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara pinjam-meminjam dan
sebagainya.
Mentalitas yang demikian sangat dipengaruhi oleh jiwa kekerabatan
yang ditopang oleh ikatan darah dan tanah leluhur. Jiwa kekerabatan
tersebut muncul dari struktur perkampungan atau tempat tinggal, yang
umumnya dikelompokkan berdasarkan suku dan garis keturunan. Setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang anggota suku sangat berpengaruh
pada anggota lainnya. Bila ada perbuatan salah yang dilakukan oleh salah
seorang anggota suku, maka kelompok suku secara keseluruhan memiliki
kewajiban untuk menegur, bahkan menghukum orang yang bersangkutan. Sebab
kesalahan seseorang menjadi aib bersama.
Berkaitan dengan rasa bersalah itu, ada dua penting yang harus
diperhatikan, yaitu tentang rasa malu dan kejujuran. Rasa malu dalam hal
ini berkaitan dengan kesadaran seseorang akan orang lain serta apa yang
orang lain pikirkan tentang dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersalah
diwajibkan untuk membayar denda dalam wujud gading, atau uang yang
seharga dengan gading, atau menurut kesepakatan kedua belah pihak. Denda
ini dimaksudkan sebagai tanda bahwa orang yang bersalah bersedia
menanggung kesalahan dan memikul akibat dari perbuatannya. Rasa malu ini
tidak hanya terjadi karena sesorang berbuat salah, tetapi juga karena
seseorang tidak dapat berbuat sesuatu yang baik seperti yang dilakukan
oleh orang lain. Orang merasa kehilangan gengsi atau harga diri, di
hadapan kelompok atau sukunya, meskipun sebenarnya suku tidak menuntut
demikian. Sedangkan mengenai kejujuran, hal ini merupakan hal utama
dalam sebuah suku. Seorang anggota suku yang kedapatan mencuri,
misalnya, akan mendapat hukuman bahkan ada suku yang bisa membunuh orang
tersebut. Hal ini sangat ditekankan untuk menunjukkan bahwa setiap
anggota suku memiliki harga diri, dan bahwa berbuat sesuatu yang
menimbulkan aib merupakan penghinaan bagi diri sendiri dan terlebih bagi
anggota suku.
Seorang anak sejak kecil sudah ditanamkan bahwa betapa suku memegang
peranan penting dalam perkembangan hidupnya. Dengan pola penanaman yang
demikian, jelaslah seorang anak dalam perkembangan selanjutnya
memilikitanggung jawab moral terhadap sukunya. Maka tidaklah heran bahwa
ia akan berpikir bagaimana memberikan sesuatu yang terbaik bagi suku.
Selain cara pandang yang kolektif, orang-orang Lamaholot juga
memiliki cara pandang yang kosmologis. Cara pandang kosmologis artinya
melihat keberadaan seluruh alam atau kosmos bukanlah sebagai sebuah
obyek melainkan sebuah subyek yang sama dengan dirinya. Manusia merasa
bersatu dengan alam. Bila manusia menjamin keselarasan dengan alam akan
terwujudlah kebaikan, kemakmuran, kedamaian bagi manusia dan kosmos.
Namun bila tidak, akan terjadi malapetaka, bencana, perang dan
sebagainya. Maka setiap anggota suku harus menciptakan keharmonisan
dengan alam semesta (kosmos), baik dunia indrawi, dunia roh-nenek
moyang, roh-roh dan Yang Tertinggi.
Kepercayaan akan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam
tampak dalam sikap orang-orang lamaholot terhadap benda-benda tertentu,
seperti barang-barang warisan nenek moyang, pohon-pohon besar yang
dianggap keramat, atau tempat-tempat yang dianggap angker dan berbahaya.
Tempat-tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal para nenek
moyang serta roh-roh. Karena itu, orang sering datang membawakan
persembahan untuk nenek moyang dan roh-roh. Berada di tempat itu orang
harus bersikap sopan dan hormat. Rasa persatuan dengan dunia mistis ini
membuat orang merasa tenteram, aman dan tidak mengalami gangguan.
Selain benda-benda tertentu, kejadian-kejadian yang luar biasa juga
sangat berpengaruh terhadap sikap manusia. Kejadian-kejadian itu antara
lain gempa bumi, gerhana bulan, bunyi burung-burung tertentu. Bila
kejadian-kejadian alam itu benar menimpa manusia, orang akan berpikir
bahwa penyebab dari hal tersebut adalah ketidakharmonisan antara manusia
dengan alam. Maka orang harus mengadakan upacara pemulihan untuk
memperbaiki situasi sehingga ketentraman kembali terwujud.
Keprihatinan bersama
Seiring dengan perkembangan zaman, mentalitas orang-orang Lamaholot
tersebut di atas mulai pudar. Nilai kejujuran dan rasa malu mulai
mengalami perubahan dan cenderung mengarah pada penurunan atau degradasi
karena semakin banyaknya orang yang tidak berlaku jujur. Banyak orang
sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, entah karena apa?
Pengontrolan adat lewat upacara-upacara syukuran, permohonan dan
pemulihan demi keseimbangan kosmos sedikit banyak telah terganti dengan
ajaran agama, yang menekankan keharmonisan hidup dengan sesama. Ide
keharmonisan atau kelestarian lingkungan hidup telah disesuaikan dengan
ilmu pengetahuan modern dan bukan lagi dengan mitos. Padahal, kalau
melihat situasi zaman sekarang yang sudah menunjukkan dekadensi moral
dan degradasi nilai-nilai, mentalitas berpikir secara kolektif dan
berpikir secarakosmologis akan memberikan nilai-nilai kehidupan yang
berarti bagi hidup manusia pada umumnya. Lalu pertanyaan bagi kita
orang-orang Lamaholot; apa yang harus diperbuat agar mentalitas itu
tetap ada dan bertumbuh dalam diri orang-orang Lamaholot?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar