Selasa, 03 Juli 2012

Mentalitas kolektif dan kosmologis orang Lamaholot

"Tenang-tenang Menghanyutkan"

* Bahasa orang Lamaholot

Selain beraneka ragam suku, dan ritusnya, orang Lamaholot memiliki banyak bahasa. Memang pada awalnya, hanya ada satu bahasa yang digunakan yaitu bahasa Lamaholot, namun dengan adanya percampuran penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya bermacam-macam bahasa ini sangat dipengaruhi oleh letak geografis. Meskipun demikian, perbedaan ini bukanlah sebuah penghalang dalam menciptakan dan melestarikan budaya Lamaholot yang telah ternanam dalam diri setiap orang Lamaholot. Justru perbedaan ini menjadi sumber kekayaan, aset dan daya tarik baik bagi orang Lamaholot sendiri maupun bagi orang lain.

Berdasarkan pengamatan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ada tiga bahasa yang digunakan oleh orang Lamaholot, selain bahasa Lamaholot itu sendiri. Bahasa Lamaholot terbagi menjadi dua yaitu Lamaholot dengan dialek barat (dipakai di bagian barat Kabupaten Flores Timur) dan Lamaholot dengan dialek timur (dipakai di wilayah Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan sebagian Lembata).

Selain bahasa Lamaholot, orang-orang yang ada di Lembata bagian selatan menggunakan bahasa Lebala-Boto, sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Kedang digunakan oleh orang Lembata bagian timur. Sedangkan di Kota Larantuka sendiri, para penduduknya menggunakan bahasa nagi (perpaduan antara bahasa Indonesia dengan Melayu/Malaka). Hampir semua orang Lamaholot generasi sekarang dapat menguasai beberapa bahasa itu, khususnya bahasa nagi.

Mentalitas orang Lamaholot

Bagi budaya Lamaholot, keberadaan suku sangat menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar dicurahkan bagi suku. Kenyataan ini sangat mempengaruhi cara pandang atau cara pikir orang Lamaholot. Umumnya orang Lamaholot akan berpikir, berkehendak, bertingkah laku secara kolektif. Artinya berbuat sesuatu karena didasari oleh pemahaman bahwa manusia tidak mungkin hidup sendirian atau tidak dapat berbuat sesuatudari dirinya sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk membuktikan bahwa ia ada. Dalam hal ini kebersamaan merupakan tekanan utama sebagai suatu suku, kelompok dan masyarakat. Maka, yang dipentingkan dalam suku, kelompok atau masyarakat adalah kepentingan, kerukunan, kebersamaan, keharmonisan dalam suku atau kelompok tersebut.

Sebagai contoh, dalam budaya Lamaholot perkawinan seseorang dalam sebuah suku merupakan pesta suku tersebut. Karena merupakan pesta suku, maka penyelenggara pesta tersebut adalah semua anggota suku. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau, setiap anggota wajib menyumbang sesuatu untuk suku, sebab kalau tidak memberi sesuatu, betapa malunya orang itu. Maka, entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu, tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara pinjam-meminjam dan sebagainya.

Mentalitas yang demikian sangat dipengaruhi oleh jiwa kekerabatan yang ditopang oleh ikatan darah dan tanah leluhur. Jiwa kekerabatan tersebut muncul dari struktur perkampungan atau tempat tinggal, yang umumnya dikelompokkan berdasarkan suku dan garis keturunan. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang anggota suku sangat berpengaruh pada anggota lainnya. Bila ada perbuatan salah yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku, maka kelompok suku secara keseluruhan memiliki kewajiban untuk menegur, bahkan menghukum orang yang bersangkutan. Sebab kesalahan seseorang menjadi aib bersama.

Berkaitan dengan rasa bersalah itu, ada dua penting yang harus diperhatikan, yaitu tentang rasa malu dan kejujuran. Rasa malu dalam hal ini berkaitan dengan kesadaran seseorang akan orang lain serta apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersalah diwajibkan untuk membayar denda dalam wujud gading, atau uang yang seharga dengan gading, atau menurut kesepakatan kedua belah pihak. Denda ini dimaksudkan sebagai tanda bahwa orang yang bersalah bersedia menanggung kesalahan dan memikul akibat dari perbuatannya. Rasa malu ini tidak hanya terjadi karena sesorang berbuat salah, tetapi juga karena seseorang tidak dapat berbuat sesuatu yang baik seperti yang dilakukan oleh orang lain. Orang merasa kehilangan gengsi atau harga diri, di hadapan kelompok atau sukunya, meskipun sebenarnya suku tidak menuntut demikian. Sedangkan mengenai kejujuran, hal ini merupakan hal utama dalam sebuah suku. Seorang anggota suku yang kedapatan mencuri, misalnya, akan mendapat hukuman bahkan ada suku yang bisa membunuh orang tersebut. Hal ini sangat ditekankan untuk menunjukkan bahwa setiap anggota suku memiliki harga diri, dan bahwa berbuat sesuatu yang menimbulkan aib merupakan penghinaan bagi diri sendiri dan terlebih bagi anggota suku.

Seorang anak sejak kecil sudah ditanamkan bahwa betapa suku memegang peranan penting dalam perkembangan hidupnya. Dengan pola penanaman yang demikian, jelaslah seorang anak dalam perkembangan selanjutnya memilikitanggung jawab moral terhadap sukunya. Maka tidaklah heran bahwa ia akan berpikir bagaimana memberikan sesuatu yang terbaik bagi suku.

Selain cara pandang yang kolektif, orang-orang Lamaholot juga memiliki cara pandang yang kosmologis. Cara pandang kosmologis artinya melihat keberadaan seluruh alam atau kosmos bukanlah sebagai sebuah obyek melainkan sebuah subyek yang sama dengan dirinya. Manusia merasa bersatu dengan alam. Bila manusia menjamin keselarasan dengan alam akan terwujudlah kebaikan, kemakmuran, kedamaian bagi manusia dan kosmos. Namun bila tidak, akan terjadi malapetaka, bencana, perang dan sebagainya. Maka setiap anggota suku harus menciptakan keharmonisan dengan alam semesta (kosmos), baik dunia indrawi, dunia roh-nenek moyang, roh-roh dan Yang Tertinggi.

Kepercayaan akan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam tampak dalam sikap orang-orang lamaholot terhadap benda-benda tertentu, seperti barang-barang warisan nenek moyang, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, atau tempat-tempat yang dianggap angker dan berbahaya. Tempat-tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal para nenek moyang serta roh-roh. Karena itu, orang sering datang membawakan persembahan untuk nenek moyang dan roh-roh. Berada di tempat itu orang harus bersikap sopan dan hormat. Rasa persatuan dengan dunia mistis ini membuat orang merasa tenteram, aman dan tidak mengalami gangguan.

Selain benda-benda tertentu, kejadian-kejadian yang luar biasa juga sangat berpengaruh terhadap sikap manusia. Kejadian-kejadian itu antara lain gempa bumi, gerhana bulan, bunyi burung-burung tertentu. Bila kejadian-kejadian alam itu benar menimpa manusia, orang akan berpikir bahwa penyebab dari hal tersebut adalah ketidakharmonisan antara manusia dengan alam. Maka orang harus mengadakan upacara pemulihan untuk memperbaiki situasi sehingga ketentraman kembali terwujud.

Keprihatinan bersama

Seiring dengan perkembangan zaman, mentalitas orang-orang Lamaholot tersebut di atas mulai pudar. Nilai kejujuran dan rasa malu mulai mengalami perubahan dan cenderung mengarah pada penurunan atau degradasi karena semakin banyaknya orang yang tidak berlaku jujur. Banyak orang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, entah karena apa?
Pengontrolan adat lewat upacara-upacara syukuran, permohonan dan pemulihan demi keseimbangan kosmos sedikit banyak telah terganti dengan ajaran agama, yang menekankan keharmonisan hidup dengan sesama. Ide keharmonisan atau kelestarian lingkungan hidup telah disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern dan bukan lagi dengan mitos. Padahal, kalau melihat situasi zaman sekarang yang sudah menunjukkan dekadensi moral dan degradasi nilai-nilai, mentalitas berpikir secara kolektif dan berpikir secarakosmologis akan memberikan nilai-nilai kehidupan yang berarti bagi hidup manusia pada umumnya. Lalu pertanyaan bagi kita orang-orang Lamaholot; apa yang harus diperbuat agar mentalitas itu tetap ada dan bertumbuh dalam diri orang-orang Lamaholot?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar