Emping yang dikembangkan kaum perempuan suku Lamaholot di Nusa
Tenggara Timur bukan sekadar emping. Emping yang terbuat dari jagung
yang ditumbuk itu, selain nikmat, juga menjadi pengikat persaudaraan.
Masyarakat suku Lamaholot di Flores Timur daratan, Pulau Adonara,
Pulau Solor, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor sudah ratusan tahun
mengenal jagung titi. Mereka menyebutnya wata ketane. Jagung titi
berbentuk emping ini selalu disuguhkan dalam setiap pertemuan atau
acara makan bersama.
Proses pembuatan jagung titi biasanya dilakukan di dapur oleh kaum
perempuan. Kegiatan meniti jagung biasa dilakukan dini hari. Awalnya,
biji jagung digoreng di kuali tanpa minyak. Saat setengah matang, dalam
keadaan panas, biji jagung diambil dengan tangan, kemudian dititi.
Dalam keadaan panas pula, biji jagung yang dititi dapat menghasilkan
emping dengan diameter hingga 8 sentimeter. Namun, tidak semua
perempuan dapat melakukan ini.
Bocah Lamaholot, pada saat mamanya menumbuk jagung, biasanya duduk
di samping tungku dapur sambil bermain di sekitarnya. Para bocah juga
biasa menyimpan emping jagung di dalam saku celana. Saat lapar, mereka
langsung mengonsumsi sambil bermain.
Pengalaman masa kecil ini tidak pernah dilupakan warga Lamaholot di
mana saja berada. Kerinduan mengonsumsi jagung titi selalu muncul
manakala mereka ingat kampung asal. Jagung titi pun selalu menjadi
oleh-oleh yang sangat berarti di kalangan suku Lamaholot. Mengonsumsi
jagung, mengingat kampung halaman dan keluarga.
”Setiap mendengar ada orang Lamaholot tiba di Jayapura, saya selalu
datang mencari jagung titi. Kalau jumlahnya terbatas, saya cukup makan
satu genggam saja sudah puas. Ada kekuatan dan harapan baru setelah
mengonsumsi jagung itu,” kata Yoseph Gregorius Tukan (35), warga
Adonara yang menjadi guru di Jayapura, Papua, saat berlibur di Desa
Mewet, Adonara, Flores Timur, Sabtu (5/6).
Nilai budaya
Emping modern sekalipun tidak akan bisa menggantikan emping jagung tradisional ini.
Menurut dosen Universitas Negeri Nusa Cendana, Kupang, Felysianus
Sanga, jagung titi Lamaholot memiliki nilai budaya, sejarah, dan adat
istiadat tinggi.
”Jagung titi memiliki tradisi yang sangat kuat. Setiap orang
Lamaholot tidak akan meninggalkannya karena memiliki nilai tersendiri
dalam tradisi hidup mereka,” katanya.
Agnes Uto (54), warga Demondei, Flores Timur, menuturkan, seorang
perempuan Lamaholot sejak usia remaja bahkan diwajibkan oleh mamanya
untuk belajar meniti jagung. Keterampilan tersebut bahkan dijadikan
salah satu ukuran dalam hidup berumah tangga.
Perempuan yang dinilai secara adat baik, berbudi, dan mendukung
suami dilihat dari keterampilan meniti jagung, menenun secara
tradisional, dan memintal benang dari kapas dengan tangan, selain
keramahan dan kesopanan.
Tidak heran jika berada di desa-desa tradisional suku Lamaholot
setiap pagi hari terdengar bunyi titian batu dengan jarak pendengaran
hingga 100 meter. Bunyi titian bertalu-talu, saling bersahutan
antartetangga. Mereka beramai-ramai meniti jagung guna mempersiapkan
sarapan pagi bagi semua anggota keluarga.
Pada acara pesta adat, Natal, Tahun Baru, atau Lebaran, masyarakat
setempat biasanya membangun persaudaraan bersama dengan acara peheng
limak atau jabat tangan desa. Pada acara ini jagung titi juga menjadi
suguhan utama.
Emping Lamaholot benar-benar bukan sekadar emping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar