Selasa, 03 Juli 2012

Asal Manusia Lamaholot dari Sina-Jawa-Malaka

 Asal usul manusia Lamaholot yang mendiami Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Lembata, Solor dan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atau yang lebih populer dengan sebutan Solor Watan Lema dari turunan Sina-Jawa-Malaka. Asal usul turunan tersebut merupakan pengaruh Hindu-Budha dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia dengan arus aliran persinggahan dari India ke Malaka serta dari China ke Muangthai kemudian bertemu di pusarana nusantara dengan persinggahan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Pengaruh budaya tersebut kemudian mewariskan puing-puing kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra, Candi Borobudur dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan. Dari sana arus perubahan bergerak masuk ke Kepulauan Timor, termasuk Kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot, kata DR Chris Boro Tokan SH.MH di Kupang, Kamis.
Dosen Luar Biasa di Bidang Hukum dan Perubahan Sosial Fakultas Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan kebenaran asal usul manusia Lamaholot yang sering dibuat kontroversi oleh Bupati Flores Timur, Simon Hayon.
Setelah arus tradisional membawa babak perubahan sosial Lamaholot, kata Boro Tokan, giliran arus religius mengisi babak baru Lamaholot melalui imperialisme bangsa Portugis yang menularkan agama nasrani (Katolik) di Lamaholot.
Sementara itu, masuknya muslim di Lamaholot disinyalir kuat sebagai perpindahan arus konflik dari Ternate dan Tidore (Maluku) antara Kesultanan Ternate dan Tidore (Muslim), meski sebelumnya Islam Malaka telah masuk lebih dahulu melalui arus Sina-Jawa-Malaka.
Dari sinilah imperialisme Portugis dan Belanda membagi kekuasaan di Kepulauan NTT. Portugis berkuasa di Timor Timur dan sebagian wilayah Timor bagian barat NTT seperti Belu dan Timor Tengah Utara serta Pulau Flores dan Kepulauan Solor, sedang Belanda berkuasa di Timor Barat serta Sumba dan Rote, katanya.
Menurut Ketua Biro Cendekiawan, Penelitian dan Pengembangan, Lingkungan Hidup DPD I Partai Golkar NTT periode 2004-2009 ini, nilai religius (nasrani dan muslim) telah membentuk keyakinan generasi baru Lamaholot.
Keyakinan baru (religius) manusia Lamaholot itu, katanya, tidak dapat menghilangkan warisan keyakinan generasi primitif Lamaholot yang mengimplementasikan keyakinan itu dengan sebutan hulen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan (yakin akan pencipta langit dna bumi) dan keyakinan generasi tradisional Lamaholot tentang lewotanah (kampung halaman).
Walaupun era modernisasi telah tampil dalam kehidupan masyarakat Lamaholot melalui kemajuan bidang pendidikan untuk membentuk keyakinan hati nurani baru Lamaholot dan mengubah pola berpikir primitif atau tradisional menjadi modern, keyakinan akan `hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan` tetap saja ada, katanya.
Mantan Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI) periode 1985-1988 itu menambahkan, manusia Lamaholot dengan pola pikir primitif dapat tertelusuri dalam sejarah oral asal usul pemuda Patigolo Arakian di Gunung Ile Mandiri dengan isterinya Watowele, seorang putri titisan dari Ile Mandiri.
Selain itu, katanya, dapat ditelusuri pula melalui sejarah oral pemuda Kelake Ado Pehan dengan isterinya Kwae Sode Boleng, seorang putri titisan Ile Boleng di Pulau Adonara serta pemuda Uwe Kole dengan seorang putri yang merupakan jelmaan alam dari ubi hutan.
Boro Tokan mengatakan, tahapan primitif manusia Lamaholot dalam masa transisi ke tahapan tradisional ditandai dengan adanya Kerajaan Lewo Nama yang dipimpin oleh turunan dari Patigolo Arakian.
Di bagian timur laut Pulau Adonara, berdirilah Kerajaan Molo Gong dan di selatan barat daya pulau itu berdirilah Kerajaan Wotan Ulu Mado, di bagian tengah Pulau Adonara berdirilah Kerajaan Libu Kliha dan di selatan berdirilah Kerajaan Lamahala, Terong dan Kerajaan Lian Lolon yang merupakan cikal bakal Kerajaan Adonara.
Selain itu, ada juga Kerajaan Awo Lolon di Pulau Pasir dekat Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata di Pulau Lembata serta Kerajaan Lamakera dan Lohayong di Pulau Solor.
Ia menjelaskan, nilai magic kehidupan yang diyakini manusia primitif Lamaholot saat itu amat mencengangkan, yakni melalui keyakinan holistik yang menyatukan alam semesta dengan anusia.
Sang pencipta, alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan total yang tidak dapat dipisah-lepaskan melalui ketaatan manusia dalam keyakinan Lamaholot yang disebut hungen baat tonga belolo rera wulan tanah ekan, ujarnya.
Keunggulan manusia primitif Lamaholot, kata Boro Tokan, dapat menyatukan jagat dalam mengarungi sebuah misi perjalanan yang jauh dalam bahasa setempat disebut bua buku tanah.
Dari tahapan primitif ke tahapan tardisional itulah mengalir paham Sina Jawa yang disinyalir membawa masuk ajaran dan keyakinan Hindu-Budha dalam proses membentuk keyakinan tradisional orang Lamaholot sampai sekarang, katanya.

Mentalitas kolektif dan kosmologis orang Lamaholot

"Tenang-tenang Menghanyutkan"

* Bahasa orang Lamaholot

Selain beraneka ragam suku, dan ritusnya, orang Lamaholot memiliki banyak bahasa. Memang pada awalnya, hanya ada satu bahasa yang digunakan yaitu bahasa Lamaholot, namun dengan adanya percampuran penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya bermacam-macam bahasa ini sangat dipengaruhi oleh letak geografis. Meskipun demikian, perbedaan ini bukanlah sebuah penghalang dalam menciptakan dan melestarikan budaya Lamaholot yang telah ternanam dalam diri setiap orang Lamaholot. Justru perbedaan ini menjadi sumber kekayaan, aset dan daya tarik baik bagi orang Lamaholot sendiri maupun bagi orang lain.

Berdasarkan pengamatan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ada tiga bahasa yang digunakan oleh orang Lamaholot, selain bahasa Lamaholot itu sendiri. Bahasa Lamaholot terbagi menjadi dua yaitu Lamaholot dengan dialek barat (dipakai di bagian barat Kabupaten Flores Timur) dan Lamaholot dengan dialek timur (dipakai di wilayah Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan sebagian Lembata).

Selain bahasa Lamaholot, orang-orang yang ada di Lembata bagian selatan menggunakan bahasa Lebala-Boto, sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Kedang digunakan oleh orang Lembata bagian timur. Sedangkan di Kota Larantuka sendiri, para penduduknya menggunakan bahasa nagi (perpaduan antara bahasa Indonesia dengan Melayu/Malaka). Hampir semua orang Lamaholot generasi sekarang dapat menguasai beberapa bahasa itu, khususnya bahasa nagi.

Mentalitas orang Lamaholot

Bagi budaya Lamaholot, keberadaan suku sangat menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar dicurahkan bagi suku. Kenyataan ini sangat mempengaruhi cara pandang atau cara pikir orang Lamaholot. Umumnya orang Lamaholot akan berpikir, berkehendak, bertingkah laku secara kolektif. Artinya berbuat sesuatu karena didasari oleh pemahaman bahwa manusia tidak mungkin hidup sendirian atau tidak dapat berbuat sesuatudari dirinya sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk membuktikan bahwa ia ada. Dalam hal ini kebersamaan merupakan tekanan utama sebagai suatu suku, kelompok dan masyarakat. Maka, yang dipentingkan dalam suku, kelompok atau masyarakat adalah kepentingan, kerukunan, kebersamaan, keharmonisan dalam suku atau kelompok tersebut.

Sebagai contoh, dalam budaya Lamaholot perkawinan seseorang dalam sebuah suku merupakan pesta suku tersebut. Karena merupakan pesta suku, maka penyelenggara pesta tersebut adalah semua anggota suku. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau, setiap anggota wajib menyumbang sesuatu untuk suku, sebab kalau tidak memberi sesuatu, betapa malunya orang itu. Maka, entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu, tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara pinjam-meminjam dan sebagainya.

Mentalitas yang demikian sangat dipengaruhi oleh jiwa kekerabatan yang ditopang oleh ikatan darah dan tanah leluhur. Jiwa kekerabatan tersebut muncul dari struktur perkampungan atau tempat tinggal, yang umumnya dikelompokkan berdasarkan suku dan garis keturunan. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang anggota suku sangat berpengaruh pada anggota lainnya. Bila ada perbuatan salah yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku, maka kelompok suku secara keseluruhan memiliki kewajiban untuk menegur, bahkan menghukum orang yang bersangkutan. Sebab kesalahan seseorang menjadi aib bersama.

Berkaitan dengan rasa bersalah itu, ada dua penting yang harus diperhatikan, yaitu tentang rasa malu dan kejujuran. Rasa malu dalam hal ini berkaitan dengan kesadaran seseorang akan orang lain serta apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersalah diwajibkan untuk membayar denda dalam wujud gading, atau uang yang seharga dengan gading, atau menurut kesepakatan kedua belah pihak. Denda ini dimaksudkan sebagai tanda bahwa orang yang bersalah bersedia menanggung kesalahan dan memikul akibat dari perbuatannya. Rasa malu ini tidak hanya terjadi karena sesorang berbuat salah, tetapi juga karena seseorang tidak dapat berbuat sesuatu yang baik seperti yang dilakukan oleh orang lain. Orang merasa kehilangan gengsi atau harga diri, di hadapan kelompok atau sukunya, meskipun sebenarnya suku tidak menuntut demikian. Sedangkan mengenai kejujuran, hal ini merupakan hal utama dalam sebuah suku. Seorang anggota suku yang kedapatan mencuri, misalnya, akan mendapat hukuman bahkan ada suku yang bisa membunuh orang tersebut. Hal ini sangat ditekankan untuk menunjukkan bahwa setiap anggota suku memiliki harga diri, dan bahwa berbuat sesuatu yang menimbulkan aib merupakan penghinaan bagi diri sendiri dan terlebih bagi anggota suku.

Seorang anak sejak kecil sudah ditanamkan bahwa betapa suku memegang peranan penting dalam perkembangan hidupnya. Dengan pola penanaman yang demikian, jelaslah seorang anak dalam perkembangan selanjutnya memilikitanggung jawab moral terhadap sukunya. Maka tidaklah heran bahwa ia akan berpikir bagaimana memberikan sesuatu yang terbaik bagi suku.

Selain cara pandang yang kolektif, orang-orang Lamaholot juga memiliki cara pandang yang kosmologis. Cara pandang kosmologis artinya melihat keberadaan seluruh alam atau kosmos bukanlah sebagai sebuah obyek melainkan sebuah subyek yang sama dengan dirinya. Manusia merasa bersatu dengan alam. Bila manusia menjamin keselarasan dengan alam akan terwujudlah kebaikan, kemakmuran, kedamaian bagi manusia dan kosmos. Namun bila tidak, akan terjadi malapetaka, bencana, perang dan sebagainya. Maka setiap anggota suku harus menciptakan keharmonisan dengan alam semesta (kosmos), baik dunia indrawi, dunia roh-nenek moyang, roh-roh dan Yang Tertinggi.

Kepercayaan akan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam tampak dalam sikap orang-orang lamaholot terhadap benda-benda tertentu, seperti barang-barang warisan nenek moyang, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, atau tempat-tempat yang dianggap angker dan berbahaya. Tempat-tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal para nenek moyang serta roh-roh. Karena itu, orang sering datang membawakan persembahan untuk nenek moyang dan roh-roh. Berada di tempat itu orang harus bersikap sopan dan hormat. Rasa persatuan dengan dunia mistis ini membuat orang merasa tenteram, aman dan tidak mengalami gangguan.

Selain benda-benda tertentu, kejadian-kejadian yang luar biasa juga sangat berpengaruh terhadap sikap manusia. Kejadian-kejadian itu antara lain gempa bumi, gerhana bulan, bunyi burung-burung tertentu. Bila kejadian-kejadian alam itu benar menimpa manusia, orang akan berpikir bahwa penyebab dari hal tersebut adalah ketidakharmonisan antara manusia dengan alam. Maka orang harus mengadakan upacara pemulihan untuk memperbaiki situasi sehingga ketentraman kembali terwujud.

Keprihatinan bersama

Seiring dengan perkembangan zaman, mentalitas orang-orang Lamaholot tersebut di atas mulai pudar. Nilai kejujuran dan rasa malu mulai mengalami perubahan dan cenderung mengarah pada penurunan atau degradasi karena semakin banyaknya orang yang tidak berlaku jujur. Banyak orang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, entah karena apa?
Pengontrolan adat lewat upacara-upacara syukuran, permohonan dan pemulihan demi keseimbangan kosmos sedikit banyak telah terganti dengan ajaran agama, yang menekankan keharmonisan hidup dengan sesama. Ide keharmonisan atau kelestarian lingkungan hidup telah disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern dan bukan lagi dengan mitos. Padahal, kalau melihat situasi zaman sekarang yang sudah menunjukkan dekadensi moral dan degradasi nilai-nilai, mentalitas berpikir secara kolektif dan berpikir secarakosmologis akan memberikan nilai-nilai kehidupan yang berarti bagi hidup manusia pada umumnya. Lalu pertanyaan bagi kita orang-orang Lamaholot; apa yang harus diperbuat agar mentalitas itu tetap ada dan bertumbuh dalam diri orang-orang Lamaholot?

Jagung Titi Lamaholot Bukan Sekadar Emping

Emping yang dikembangkan kaum perempuan suku Lamaholot di Nusa Tenggara Timur bukan sekadar emping. Emping yang terbuat dari jagung yang ditumbuk itu, selain nikmat, juga menjadi pengikat persaudaraan.
Masyarakat suku Lamaholot di Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor sudah ratusan tahun mengenal jagung titi. Mereka menyebutnya wata ketane. Jagung titi berbentuk emping ini selalu disuguhkan dalam setiap pertemuan atau acara makan bersama.
Proses pembuatan jagung titi biasanya dilakukan di dapur oleh kaum perempuan. Kegiatan meniti jagung biasa dilakukan dini hari. Awalnya, biji jagung digoreng di kuali tanpa minyak. Saat setengah matang, dalam keadaan panas, biji jagung diambil dengan tangan, kemudian dititi. Dalam keadaan panas pula, biji jagung yang dititi dapat menghasilkan emping dengan diameter hingga 8 sentimeter. Namun, tidak semua perempuan dapat melakukan ini.
Bocah Lamaholot, pada saat mamanya menumbuk jagung, biasanya duduk di samping tungku dapur sambil bermain di sekitarnya. Para bocah juga biasa menyimpan emping jagung di dalam saku celana. Saat lapar, mereka langsung mengonsumsi sambil bermain.
Pengalaman masa kecil ini tidak pernah dilupakan warga Lamaholot di mana saja berada. Kerinduan mengonsumsi jagung titi selalu muncul manakala mereka ingat kampung asal. Jagung titi pun selalu menjadi oleh-oleh yang sangat berarti di kalangan suku Lamaholot. Mengonsumsi jagung, mengingat kampung halaman dan keluarga.
”Setiap mendengar ada orang Lamaholot tiba di Jayapura, saya selalu datang mencari jagung titi. Kalau jumlahnya terbatas, saya cukup makan satu genggam saja sudah puas. Ada kekuatan dan harapan baru setelah mengonsumsi jagung itu,” kata Yoseph Gregorius Tukan (35), warga Adonara yang menjadi guru di Jayapura, Papua, saat berlibur di Desa Mewet, Adonara, Flores Timur, Sabtu (5/6).
Nilai budaya
Emping modern sekalipun tidak akan bisa menggantikan emping jagung tradisional ini.
Menurut dosen Universitas Negeri Nusa Cendana, Kupang, Felysianus Sanga, jagung titi Lamaholot memiliki nilai budaya, sejarah, dan adat istiadat tinggi.
”Jagung titi memiliki tradisi yang sangat kuat. Setiap orang Lamaholot tidak akan meninggalkannya karena memiliki nilai tersendiri dalam tradisi hidup mereka,” katanya.
Agnes Uto (54), warga Demondei, Flores Timur, menuturkan, seorang perempuan Lamaholot sejak usia remaja bahkan diwajibkan oleh mamanya untuk belajar meniti jagung. Keterampilan tersebut bahkan dijadikan salah satu ukuran dalam hidup berumah tangga.
Perempuan yang dinilai secara adat baik, berbudi, dan mendukung suami dilihat dari keterampilan meniti jagung, menenun secara tradisional, dan memintal benang dari kapas dengan tangan, selain keramahan dan kesopanan.
Tidak heran jika berada di desa-desa tradisional suku Lamaholot setiap pagi hari terdengar bunyi titian batu dengan jarak pendengaran hingga 100 meter. Bunyi titian bertalu-talu, saling bersahutan antartetangga. Mereka beramai-ramai meniti jagung guna mempersiapkan sarapan pagi bagi semua anggota keluarga.
Pada acara pesta adat, Natal, Tahun Baru, atau Lebaran, masyarakat setempat biasanya membangun persaudaraan bersama dengan acara peheng limak atau jabat tangan desa. Pada acara ini jagung titi juga menjadi suguhan utama.
Emping Lamaholot benar-benar bukan sekadar emping.

KERAJAAN ISLAM DI SOLOR-ALOR-LEMBATA-ADONARA-PANTAR NTT

"Created : Anak Muda Solor-Makassar"

Saat ini, wilayah kepulauan Solor yang terdiri atas Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pantar, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, lebih dipengaruhi oleh kebudayaan Katolik. Tetapi siapa kira, kalau kawasan yang meliputi tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, pernah mendapat pengaruh kuat dari beberapa kerajaan Islam di Maluku, Jawa dan Sulawesi sejak abad ke-15.

Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.

Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.

Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.

Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.

Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.

Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.

Kerajaan Islam

Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.

Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.

Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.

Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.

Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.

Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.

Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.

Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.

Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT).